Sugeng Rawuh di Dunia Kecil-ku

Matur suwun telah berkenan berkunjung ke dunia kecilku...dunia ilusiku yang palsu dan bisu...

GAMBAR ILUSI-KU

GAMBAR ILUSI-KU
Hanya sebuah gambar yang palsu dan bisu

Selasa, 27 Juli 2010

Sedikit tentang Taubat

Sepanjang sejarah kehidupan manusia, mulai dari Nabi Adam sampai sekarang ini, bahkan sampai hari kiamat tak ada satupun yang dapat melepaskan diri dari kesalahan dan kelalaian. Kisah Nabi Adam diturunkan ke bumi menunjukkan bahwa setinggi apapun tingkat kealiman seseorang dan tingkat derajat yang disandang tetap tidak bisa terlepas dari kesalahan dan kelalaian. Karena itulah taubat atau memohon ampunan kepada Allah swt merupakan sebuah keniscayaan agar kesalahan dan kelalaian yang pernah dilakukan itu mendapatkan ampunan dari Dzat Yang Maha Pengampun segala kesalahan dan kelalaian yaitu Allah Swt.

Inti dari taubat adalah membersihkan diri dari segala bentuk kesalahan yang pernah tercipta didalam kehidupan. Bertaubat berarti membangun komitmen kepada Tuhan untuk membenahi segala kesalahan, baik kesalahan yang berkaitan dengan interaksi vertikal (hablum minallah) atau horizontal (hablum minan nas).

Dengan bertaubat seseorang berarti telah berjanji untuk senantiasa menciptakan suasana kehidupan kesehariannya sebagaimana jalan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala yang telah dilarang-Nya. Yakni bagaimana ia berpegang teguh untuk mensyukuri hidup ini dengan keta’atan, kepatuhan, ketundukan, ketawadlu’an serta menjauhi hal-hal yang terlarang seperti sombong, pamer atau riya’, merasa diri paling hebat, paling sempurna dan larangan-larangan lainnya yang menyebabkan rusaknya sebuah amal.

Bertaubat tidaklah mengenal waktu. Tidak ada patokan waktu khusus untuk kapan seharusnya bertaubat dan kapan waktu tepat untuk bertaubat. Namun, waktu taubat adalah setiap saat, dimanapun dan kapanpun juga. Sebab datangnya ajal tiada seorangpun yang mengetahuinya, dan tanpa memandang usia. Sehingga diharapkan seseorang tatkala ajal datang menjemput ia sudah siap untuk kembali kepada Sang Pencipta dalam keadaan bersih lantaran taubatnya.

Bertaubat berarti bersungguh-sungguh agar hari ini dan selanjutnya menjadi lebih baik dari hari kemarin. Memenuhi segala perintah-Nya untuk mendapatkan ridlo serta kasih sayang-Nya. Senantiasa menghiasi laku diri dengan menambah taqwa kepada Allah Swt. Tentunya semua itu dilandasi karena cinta kepada Allah, ingin mendapatkan ampunan dan ridlo-Nya.

Setelah seseorang benar-benar bertaubat, dengan berikrar untuk tidak mengulangi lagi segala kesalahan dan kelalaian yang pernah ia lakukan, maka seseorang tersebut berarti kembali menjadi fitrah atau kembali ketitik nol sebagaimana bersihnya seorang bayi yang baru hadir di dunia ini.

Wa ba’du, karena manusia diciptakan hanyalah untuk mengabdi atau mengenal Tuhannya, maka seyogyanya seorang hamba harus senantiasa menempuh jalan untuk sampai kepada Tuhan yang telah menciptakannya. Dan karena seseorang untuk sampai kepada Tuhannya harus suci terlebih dahulu ruh, jiwa dan raganya, maka untuk menuju kesana haruslah dimulai dengan taubat yang murni atas segala dosa yang pernah dilakukan sebelumnya dengan menata diri untuk tidak menempuh lagi dijalan yang sesat penuh kelalaian, kema’siatan dan meminimalisir syahwat duniawi. Sebab semua itu adalah sebuah keniscayaan untuk membersihkan hati. Sehingga yang ada dalam diri kita hanyalah hiasan akhlaq karimah sertai sifat-sifat terpuji. Itulah fungsi utama kita sebagai hamba-Nya.

Semoga kita menjadi bagian hamba yang senantiasa menyempatkan diri untuk bertaubat yang benar-benar ikhlas karena Allah, sehingga masuk kedalam orang-orang yang dicintai-Nya. Hal tersebut sesuai dengan Firman Allah: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri”. Wallahu a’lam.

Khartoum 27 Juli 2010
(mengisi waktu refreshing disela-sela ujian)

Taufiq Zubaidi

Selasa, 06 Juli 2010

Ber-Tasawuf

BerTasawuf berarti menaruh jiwa sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah swt. serta senantiasa menggantungkan hati dengan Tuhan.

BerTasawuf berarti merenungkan segala kekuasaan-Nya yang tampak kasat mata untuk menambah ketakwaan kita kepada Allah swt.

BerTasawuf berarti bersabar manakala tertimpa cobaan dengan merelakan segala yang telah terjadi, dan mengembalikan cobaan tersebut adalah kehendak Allah swt.

BerTasawuf berarti menghiasi diri kita dengan kefakiran (butuh) kepada Allah swt. disegala apapun.

BerTasawuf berarti berserah diri kepada Allah swt. dimanapun berada, baik ditempat sepi atau ramai.

BerTasawuf berarti senantiasa sadar bahwa Allah swt. mengetahui segala yang kita lakukan.

BerTasawuf berarti menundukkan diri untuk mengabdi kepada Allah swt. dan makrifat atas Allah swt.

Selamat BerTasawuf…

06 Juli 2010/23:45, Khartoum

Rabu, 19 Mei 2010

Ingkar Janjinya Bani Israil kepada Allah

Tafsir Surat Al Baqarah ayat 85-86

Oleh: Taufiq Zubaidi

Kedua ayat yang akan kita kaji ini merupakan bagian dari kedua ayat sebelumnya (ayat ke 83 dan 84 dari surat al-Baqarah ). Kedua ayat sebelumnya dengan dua ayat ini nanti adalah dalam satu kesatuan membahas tentang “Ingkar Janjinya Bani Israil kepada Allah”. Janji-janji tersebut telah disebutkan di dua ayat sebelumnya, yang berisi sepuluh janji. Ayat pertama berisi tentang delapan janji (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Di tambah dua janji lagi yang berisi: “tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu.”

Setelah adanya sepuluh janji tersebut, dan Bani Israil berikrar (akan memenuhinya), akhirnya di dua ayat inilah lanjutan atas sikap mereka terhadap janji tersebut:

ثُمَّ أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِمْ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِنْ يَأْتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (85)

“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 85)

أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآَخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ (86)

“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (QS. Al Baqarah: 86)

***

Ayat tersebut berkenaan dengan cerita orang Yahudi di Madinah pada permulaan Hijrah. Yahudi Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan orang-orang Khazraj. Antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. Sampai antara kedua suku Yahudi itupun terjadi peperangan dan tawan menawan, karena membantu sekutunya. Tapi jika kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, maka kedua suku Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya berperang-perangan.

Penjelasan ayat 85:

ثُمَّ أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ

“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa)”

Setelah di ayat sebelumnya Bani Israil berjanji kepada Allah swt untuk tidak membunuh, namun di ayat ini telah disebutkan bahwa mereka tidak menepati janji tersebut, mereka mengingkari dengan saling membunuh antara satu sama lain. Saling menebar permusuhan, menumpahkan darah, membunuh sesama saudara mereka sendiri. Padahal apa yang dilakukan oleh Bani Israil dengan saling membunuh itu telah sangat jelas diharamkan di ajaran agama mereka, dan menjaga keselamatan kerabat adalah wajib bagi mereka.

وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ دِيَارِهِمْ

“dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya.”

Janji kedua yang telah diingkari oleh bani israil adalah mengusir saudara sebangsa dari kampung halaman mereka. Dari penghianatan janji ini, secara tidak langsung Bani Israil telah mengingkari dua kesepakatan Allah swt dengan mereka di ayat sebelumnya, yakni untuk tidak mengusir saudara dari kampung halaman dan berbuat baik kepada kerabat. Sebab adanya pengusiran menandakan bahwa mereka tidak bisa berbuat baik kepada sesama kerabat mereka.

تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِمْ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِنْ يَأْتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ

“kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka”

Sikap ingkar yang dilakukan oleh Bani Israil juga saling menerbar kedzaliman, dengan saling membantu satu sama lain untuk membuat kerusakan, dan senantiasa menebar dosa. Dan mengulang-mengulang kembali perbuatan tersebut dengan menebus kelompok mereka yang tertawan, dan mengembalikan tawanan agar permusuhan tersebut bisa langgeng. Hal tersebut ditunjukkan adanya permusuhan dan persengketaan Yahudi Bani Quraizhah dan Yahudi Bani Nadhir. Dimana Yahudi Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan orang-orang Khazraj. Antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. Sampai antara kedua suku Yahudi itupun terjadi peperangan dan tawan menawan, karena membantu sekutunya. Tapi jika kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, maka kedua suku Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya berperang-perangan. Selain dari yang diperbuat mereka itu, mereka adalah ahli syirik dan menyembah berhala.

وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ

“padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu”

Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Bani Israil di atas, baik membunuh, mengusir, membantu dalam menebarkan dosa dan permusuhan telah di larang oleh Allah
swt. di kitab mereka. Allah swt. telah mengharamkan kepada mereka tatkala melakukan hal-hal tersebut.

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ

Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?

Sifat ingkar Bani Israil selain dari hal-hal yang telah disebutkan di atas itu, mereka beriman kepada sebagian kitab suci dan mengingkari sebagian yang lainnya. Bentuk mengingkari sebagian kitab itu bermacam-macam, yaitu: (1) Mengambil yang enak dan meninggalkan yang tidak enak, (2) Mempertentangkan ayat-ayat, (3) Mengambil ayat-ayat mutasyabihat (samar maknanya) dan meninggalkan ayat yang muhkamat (jelas).

فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia”

Balasan yang akan diterima oleh Bani Israil karena melakukan ingkar janji kepada Allah swt. maka mereka di dalam dunia akan mendapat kenistaan. Kenistaan di dunia yang telah menimpa mereka adalah di usirnya Bani Quraidzah dari Madinah dan diperanginya Bani Nadzir oleh tentara Muslim.

وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ

“dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat”

Karena mereka telah mengingkari janji kepada Allah swt., maka selain dari kenistaan yang mereka dapatkan di dunia, di akhirat kelak meraka juga akan mendapatkan siksa api neraka yang merupakan siksa yang paling pedih.

وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”

Perbuatan-perbuatan ingkar yang dilakukan oleh Bani Israil tersebut, seperti membunuh, mengusir kerabat mereka, membantu dalam berbuat dosa telah Allah swt ketahui semua. Dan samasekali Allah swt. tidak butuh, tidak takut akan pengingkaran mereka.

Penjelasan ayat 86:

أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآَخِرَةِ

“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat”

Maksud dari orang yang membeli kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat adalah, orang yang lebih mementingkan keni’matan-keni’matan duniawi dibandingkan keni’matan-keni’matan ukhrawi kelak. Dalam konteks ini, mereka (Bani Israil) telah beriman kepada sebagian isi kitab Taurat dan sebagian yang lain. Mereka tidak mengindahkan janji-janji yang telah mereka sepakati. Iman mereka hanya kepada isi kitab yang di anggap menguntungkan mereka di dunia, dan mengabaikan isi yang dianggap kurang menguntungkan mereka. Padahal isi kitab Taurat adalah penghantar bagi mereka untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.

فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ

“maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”

Karena mereka telah menggantikan ni’mat akhirat dengan ni’mat dunia dengan mengingkari janji mereka kepada Allah swt., maka mereka kelak akan mendapatkan siksa neraka dan tidak akan mendapatkan syafa’at atau penolong. Dan mereka tidak akan dapat menghindar dari siksaan tersebut.

***

Dari penjelasan ayat ini beserta ayat sebelumnya tentang ingkar janjinya Bani Israil kepada Allah swt. dapat kita petik hikmah untuk menjadikannya sebagai pelajaran untuk menapaki kehidupan kita di dunia. Dimana di dalam penjelasan ke empat ayat tersebut (ayat 83, 84, 85 dan 86) terdapat berbagai petunjuk untuk mendapatkan kebahagiaan dan peringatan untuk kita jauhi bersama. Petunjuk itu adalah yang terdapat di ayat 83-84 tentang perintah beribadah kepada Allah swt. dan tanpa menyekutukannya, berbakti kepada kedua orang tua, kepada kerabat, menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, berbicara dengan santun kepada semua orang, mendirikan sholat, menunaikan zakat. Sedangkan peringatan yang terdapat di surat tersebut adalah tidak membunuh, tidak mengusir golongan dari kampung halamannya.

Namun, karena pada waktu itu Bani Israil telah mengingkari janji tersebut, mereka telah mementingkan keni’matan-keni’matan duniawi dibandingkan keni’matan-keni’matan ukhrawi, maka sebagaimana penjelasan di ayat 85-86 Allah swt. telah memberi balasan terhadap mereka sebuah kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat (api neraka). Dan samasekali mereka tidak akan mendapatkan syafa’at atau pertolongan untuk bebas dari siksaan Allah swt.

Demikian tafsir dan penjelasan singkat dari kedua ayat tersebut (Al Baqarah: 85-86) yang disarikan dari berbagai sumber. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dan pelajaran di ayat tersebut. Wallahu a’lam bis showab.

Daftar Bacaan:
- Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Abu Ja’far at Tabari
- Tafisr al-Qur’an al-Adzim, Ibn Katsir al-Quroysi
- Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Ar Razi.
- Bahrul Ulum, as-Samarqandi

Kamis, 13 Mei 2010

Mensinergikan Duniawi dan Ukhrowi; untuk menggapai Sa’adatuddarain

Oleh: Taufiq Zubaidi

IFTITAH

Manusia pada dasarnya adalah makhluk terbaik dari sekian makhluk lain yang diciptakan oleh Allah. Manusia oleh Allah diberi kehormatan atau karamah bahkan lebih dari itu ia diangkat sebagai “khalifah Allah" di atas bumi ini. Kemuliaan manusia ditandai dengan pemberianNya yang sangat bermakna tinggi, sehingga menjadikan manusia dapat menguasai alam ini. Pemberian itu berupa "akal dan pikiran'' yang mampu mengangkat harkat dan derajat manusia. Dengan akal pikiran, manusia dapat menerima, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi . Manusia dibedakan dari binatang terutama adalah karena manusia merupakan animal symbolicum, yaitu makluk yang hidup dengan symbol-symbol yang dapat berpikir dan berbahasa. Menurut doktrin al-Qur'an, manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini .

Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya . Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya . Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia itu fithri, hanif dan berakal . Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai petunjuk hidupnya .

Kelebihan manusia, di samping karena akal pikirannya, juga karena nafsu dan perasaan. Manusia dengan nafsunya mempunyai semangat, etos dan sikap-sikap emosional lain yang positif. Manusia dengan intuisinya mempunyai daya estetik dan etik yang juga mampu mengangkat harkatnya. Sebagai “khalifah Allah", manusia pada dasarnya telah dibekali dengan tiga potensi di atas, yaitu akal pikiran, nafsu dan perasaan. Dengan bekal inilah manusia mampu menjalankan kekhalifahan untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain, kelompok maupun orang perorang .

Masalahnya adalah, seberapa jauh manusia melaksanakan kemampuannya itu? Apa yang harus dilakukannya untuk dapat memerankan peran kekhalifahannya di muka bumi ini? Apa yang harus ia lakukan untuk melengkapi kualitas kemanusiaanya? Manusia seperti apa yang dibutuhkan untuk menejerial bumi? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang ingin penulis bahas di tulisan singkat ini.

***

Etika dalam Pembangunan

Barangkali diantara kita pernah menjumpai beberapa hadis Nabi yang berbunyi: “Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlaqul karimah.” , “Sesungguhnya budi pekerti yang baik adalah perbuatan ahli surga” , “Sesungguhnya sebaik-baiknya perkara yang baik adalah kepribadian yang baik. ” "Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang berakhlak mulia”. Ke empat hadis tersebut telah menandakan bahwa akhlaq adalah hal penting yang harus dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari.

Kedewasaan sebuah bangsa tidaklah cukup dilihat dari sumber daya manusia saja, namun perilaku dan budi pekerti warganya. Etika masyarakat dalam berbangsa dan bernegara sangatlah penting untuk menjunjung harkat dan martabat bangsa. Tanpa etika, moral, adab atau perilaku yang baik, sebuah bangsa akan semakin rusak dan rendah. Taruhlah contoh jika semua elemen pemerintahan dan semua masyarakat yang ada di dalam Negara sudah tidak memiliki akhlak yang baik, telah meniadakan etika kehidupan, maka sudah dapat dipastikan tatanan Negara akan semakin rusak. Tanpa moral, sifat-sifat madzmumah (tercela) seperti; sombong, dengki, pembohong, riya’, sum’ah, beserta sifat-sifat tercela lainnya akan semakin tumbuh subur.

Diceritakan dari Mu'adz ibn Jabal bahwa Nabi saw. bersabda; "Sesungguhnya Allah melingkupi Islam dengan akhlak yang mulia dan perbuatan baik” . Dari hadis tersebut telah menandakan bahwa sejak hadirnya, Islam telah mendeklerasikan bahwa ajaran-ajaran yang dibawa agama Islam akan menghantarkan kepada akhlaqul karimah. Belajar dari sejarah, Nabi Muhammad saw. diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak umat pada saat itu, sebelum praktik-praktik keagamaan seperti shalat, puasa, haji diperintahkan kepada umatnya. Langkah Rasulullah saw. sangatlah tepat, sebab ketika sebuah akhlak telah tertanam kepada semua umat, maka hal ihwal tentang tasamuh, sifat saling menghargai, saling menghormati, saling menyayangi akan terwujud.

Moral di dalam Al-Qur'an disebut "akhlaq" yang berarti budi pekerti atau tata susila, sebenarnya telah ada sejak adanya kehidupan manusia. Persoalan "baik-buruk" telah muncul sejak tingkat peradaban awal, meskipun ukuran yang dipakai berbeda-beda. Kadang-kadang diukur dengan akal yang paling sederhana tanpa melibatkan perasaan atau sebaliknya, atau hanya dengan penilaian perasaan dan malahan hanya dengan nafsu. Penilaian baik-buruk atas tindakan dan amal perbuatan manusia dengan ukuran-ukuran tertentu itulah yang disebut moral atau etika . Dalam tradisi filsafat istilah "etika" lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik .

Sampai saat ini yang masih menjadi permasalahan adalah bentuk ukuran-ukuran untuk menilai baik-buruk yang biasanya dipengaruhi oleh budaya, lingkungan dan ajaran agama, sehingga terjadi perbedaan penilaian antara satu daerah dengan daerah lain. Suatu perbuatan dinilai baik di satu daerah, belum pasti dinilai sama di daerah lain. Hal ini akan bergantung pada kesepakatan sosial yang terjadi baik atas pengaruh budaya, lingkungan maupun ajaran agama dan kepercayaan yang ada di masyarakat. Oleh karenanya ukuran-ukuran itu sering bergeser akibat perubahan sosial yang terjadi. Kecuali tolok ukur yang bersumber dari ajaran agama yang dogmatik, maka ukuran ini bersifat permanen .

Karena masih pudar bentuk ukuran baik-buruk tatkala hanya disarikan dari budaya, lingkungan masyarakat yang notabene ukuran-ukuran itu sering bergeser akibat perubahan sosial, maka diperlukan sebuah patokan atau kiblat yang seimbang, baik ditinjau dari ukuran masyarakat atau agama. Di sini penulis ingin mengambil parameter itu adalah kepribadian Rasulullah saw. Sebab kepribadian Rasulullah telah diakui sebagai kepribadian yang sempurna disepanjang sejarah manusia. Muhammad saw. adalah uswah (teladan) dalam sifatnya yang luhur. Adalah al-Qur'an sendiri yang menegaskan, Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah (Muhammad Saw.) teladan yang baik bagi siapa yang mengharap (anugerah) Allah dan (ganjaran di) Hari Kemudian, serta banyak menyebut nama Allah .

Kesempurnaan kepribadian Rasulullah tidak hanya diakui dari kalangan muslim. Michael H. Hart di dalam karyanya Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah, telah mengakui kepribadian Rasulullah:

Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi. Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar .

Al-qur'an telah menjelaskan dengan begitu jelas dan gamblang siapakah Rasulullah saw. dan bagaimana tanda-tanda bagi orang-orang yang mengikuti ajarannya. Kalau kita amati, hasil ajaran yang di ajarkan oleh Rasulullah melalui sifat-sifat mulianya kepada para sahabatnya begitu unik dan mempesona. Ketika ajaran Islam diberikan kepada Abu Bakar, tiba-tiba keluar as-shidiq (yang jujur). Ketika ajarannya diberikan kepada Umar ibn Khattab tiba-tiba keluar al-faruq (yang mampu memisahkan yang haq dan yang bathil), diajarkan kepada Utsman ibn 'Affan keluar dzunnurayn (yang bercahaya di dunia dan di akhirat), dan diajarkan kepada 'Ali ibn Abi Thalib keluar al-murtadha (yang diridai) .

Ke empat sifat yang muncul dari khulafaurrasyidin di atas merupakan pengejawantahan dari sifat empat mulia Nabi; sidiq tercerminkan oleh sahabat Abu Bakar, amanah diwakili oleh sahabat Umar bin Khotob, Tabligh terpancar oleh sahabat Utsman ibn Affan dan Fathonah terwakili oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Ke empat sahabat Rasulullah saw. tersebut memiliki identitas diri yang berbeda-beda. Padahal yang diberikan kepada mereka adalah ajaran yang sama, tetapi ternyata menghasilkan buah yang berbeda-beda. Di sinilah keunikan ajaran Islam, yang membedakan diri dari ajaran-ajaran sekuler karya manusia, misalnya komunisme atau liberalisme.

Sahabat empat Rasulullah saw. tersebut merupakan pribadi-pribadi besar, yang karakternya terbentuk menurut tuntunan dan ajaran agama Islam. Ke empatnya pula merupakan manifestasi dari empat keunggulan yang dimiliki Rasulullah saw. Jadi, jika potensi yang ada di dalam diri Rasulullah saw. dipisah-pisahkan, dan jika setiap bagian dari potensi itu berada di dalam diri manusia, ia akan mencapai puncak kepribadiannya.

Sejak awal Islam telah meletakkan dasar-dasar untuk menentukan tingkah laku yang baik dan buruk. Ia tidak mendasarkan konsep al-ma’ruf (yang baik) dan al-munkar semata-mata pada rasio, nafsu, intuisi dan pengalaman-pengalaman yang muncul lewat panca indera yang selalu mengalami perubahan. Tetapi ia telah memberikan sumber yang tetap, yang menentukan tingkah laku moral yang tetap dan universal, yaitu "Al-Qur’an dan al-Sunnah". Dasar-dasar itu menyangkut kehidupan perorangan, keluarga, tetangga sampai pada kehidupan komunitas bangsa . Itulah bentuk akhlaqul karimah yang seyogyanya kita praktekkan bersama untuk mewujudkan pribadi-pribadi yang ideal sebagaimana uswatun hasanah kita.

Sifat akhlaqul karimah telah diwasiatkan kepada sahabat Mu'adz r.a. Suatu ketika sahabat Mu’adz bertemu dengan Rasulullah saw.: "Rasulullah saw. berwasiat kepadaku. Beliau bersabda, "Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah swt., berkata benar, menepati janji, menuaikan amanah, meninggalkan pengkhianatan, menjaga hubungan baik dengan tetangga, mengasihi anak yatim, berkata lembut, memulai salam, berbuat baik, pendek angan-angan, meneguhkan keimanan, mempelajari Al-Qur'an, mencintai akhirat, merasa gelisah terhadap penghisaban, dan merendahkan diri. Aku melarangmu dari mencaci seorang yang bijak, mendustakan orang jujur, menaati pendosa, durhaka kepada pemimpin yang adil, atau membuat kerusakan di muka bumi. Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah pada setiap batu, pohon, dan tanah. Hendaklah pada setiap dosa engkau datangkan tobat, yang rahasia dengan rahasia dan yang terang-terangan dengan terang-terangan" .

Wasiat Rasulullah saw. kepada sahabat Mu’adz adalah bukti dari bentuk akhlaqul karimah yang sangatlah luas. Akhlaqul karimah mencakup pelbagai etika-etika kita kepada Allah, kepada sesama manusia, dan etika kita pada diri sendiri. Implementasi akhlaqul karimah adalah kemampuan mempraktekkan aktifitas kita sesuai porsinya masing-masing, berlandaskan hukum Agama dan adat kebiasaan masyarakat. Dalam arti lain, arti akhlaqul karimah adalah kepandaian memosisikan diri; kapan kita harus bertindak, dimana posisi kita berada, apa yang harus kita lakukan, apakah yang kita lakukan merugikan orang lain tidak, merugikan diri sendiri, merugikan lembaga, atau pihak lain.

***

Mensinergikan Duniawi dan Ukhrawi

Manusia sebagai khalifah diberi tugas untuk melaksanakan manajerial Tuhan: menjamah lingkungan serta melakukan transformasi sosial. Sebagai seorang muslim kita harus melangkah: bekerja, berpolitik, berkesenian, dan sebagainya. Tujuan yang kita gapai dari semua itu adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. ditengah-tengah lingkungannya pada zaman itu. Konon, Rasulullah saw. sebelum di utus untuk menyebarkan Islam, Rasulullah juga melakukan aktifitas sebagaimana manusia biasanya, dalam sejarahnya beliau pernah menjadi penggembala yang terpercaya dan pedagang yang jujur .

Dari sejarah kehidupan Rasulullah dapat kita ambil kesimpulan, bahwa idealnya seseorang di dalam menjalani kehidupan ini haruslah menyeimbangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi. Yakni hidup tidak hanya bersifat ubudiyah interaksi kepada Tuhan semata, melainkan juga ber-mu’amalah kepada sesama manusia. Hidup tidak hanya memiliki “kesalehan ritual” yang hanya mementingkan ibadah mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Sangat tekun melakukan sholat, puasa, dan seterusnya; namun tidak perduli akan keadaan sekelilingnya (hanya hablun minallah). Melainkan dalam tugas kekhalifahannya di muka bumi manusia juga dituntut memiliki “kesalehan sosial” yakni memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya (hablun minan naas).

Namun di dalam menjalankan tugasnya, manusia sering menemukan kendala diri karena dia memiliki cara berpikir ganda. Misalnya, ketika dia melihat seseorang dalam kesulitan keuangan, dia akan berpikir: "kalau dia tidak saya tolong, kasihan. Tetapi kalau saya tolong, nanti harta saya berkurang...". Perdebatan antara perbedaan terjadi karena manusia memiliki dua potensi . Ruh Hayati yang selalu menuntut agar jasmani kita sejahtera, abadi di bumi, ditentang ruh Idhafi yang senantiasa ingin kembali kepada Tuhan. Dialog memperjuangkan kepentingan fisikal (oleh ruh hayati) dan kepentingan spiritual (oleh ruh idhafi) tidak pernah berakhir manakala kita sendiri tidak menentukan langkah apa yang mesti kita lakukan. Di sinilah manusia diberi kemerdekaan untuk menjadi dirinya sendiri.

Pada zaman dahulu, para brahma, biksu, rahib-rahib, dan orang-orang suci yang telah ma'rifah billah tidak berani menyimpan harta. "Di dalam rumah saya tidak boleh ada harta. kalau saya bekerja mendapatkan uang sepuluh ribu, dua ribu untuk makan, maka yang delapan ribu harus saya akhiratkan." Bagian hidupnya di dunia dilupakan, semua dianggarkan untuk akhirat . Sistem agama dahulu memang demikian. Tetapi hal ini sekarang tidak lagi relevan, karena setiap orang harus sanggup menopang dirinya sendiri selain harus menolong orang lain. Orang yang hanya menolong pihak lain berarti hanya melaksanakan manajerial Tuhan tanpa mengembangkan diri. Kehidupannya hanya untuk akhirat tanpa meni’mati keni’matan Allah yang diberikan di dunia. Padahal kita harus mendapatkan dunia kita untuk bisa menolong dua kali hingga seribu kali, kita harus memiliki sisa sebagai aset yang bisa dikembangkan.

Proses sebuah ikhtiar untuk sanggup menopang diri sendiri selain harus menolong orang lain adalah dalam rangka menjaga agar tidak menyiksa keadaan sendiri, yang bisa-bisa akan mengarahkan kepada sebuah kefakiran dirinya sendiri. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda: “kefakiran cenderung mengarahkan kepada kekufuran” . Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik tersebut merupakan sebuah rambu-rambu, bahwa dalam menghadapi hidup kita harus sedapat mungkin untuk menjauhkan diri dari kefakiran. Yang dalam hal ini, seseorang harus dapat memenuhi kebutuhan sendiri, selain membantu orang lain.

Allah telah memberikan petunjuk agar kita tepat dalam bersikap; tidak memenangkan satu kekuatan (ruh) dan mematikan kekuatan yang lain. Keduanya, baik kekuatan fisikal (ruh hayati) maupun kekuatan spiritual (ruh idhafi), harus sama-sama dimenangkan. Win-win solution; mencapai kebahagiaan di akhirat dengan tidak melupakan kebahagiaan di dunia. Petunjuk untuk mensinergikan keduanya terdapat di dalam firman-Nya:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” .

Ayat tersebut mengandung “peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah Allah– wallahu a'lam– “sekadar” memperingatkan, supaya dalam mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan anugerah-Nya ditinggalkan . Menurut tafsir Ibn Abbas, “Walaa tansa nasiibaka min ad-dunya” diartikan “Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia” .

Oleh karena itu, setiap hendak melakukan sesuatu perbuatan harus ada kompromi (dialog ruh), selanjutnya di dalam berinteraksi dengan orang lain, kita juga harus melakukan kompromi yang serupa. Inilah yang disebut moment of creation, yaitu momen mencipta yang senantiasa membutuhkan pendekatan dan pengorbanan. Kita tidak hanya mencari keuntungan akhirat, tapi juga keuntungan dunia, kita tidak hanya mencari kemenangan sendiri, tetapi harus memikirkan pula kemenangan orang lain. Misalnya, kompromi antara penjual dan pembeli, antara pemimpin dan yang di pimpin, antara bapak dan anak. Kedua pihak harus ada interaksi dengan tidak menggunakan kekuasaannya. Bahwa setiap manusia merasa memiliki kekuasaan, sehingga cenderung akan menggunakannya dalam upaya memaksakan kehendak .

Rasulullah saw. telah bersabda, “I'mal lidunyaaka kaannaka ta'iesyu abadan wa'mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan”, yang galibnya berarti “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Hadis ini dapat kita pahami dengan pemahaman “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa, “Rabbanaa aatina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan (surga) di akhirat. Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional (berimbang yang tidak mesti seimbang) .

Fenomena kehidupan beragama kaum Muslim dewasa ini, dimana memang sering kita jumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadat pribadinya”. Padahal semuanya tahu tentang hak-hak hablun minallah dan hablun minan nas.

Inilah yang menjadi permasalahan kita bersama, sebagai muslim sebenarnya kita memiliki dua tuntutan sekaligus, antara hablun minallah dan hablun minan nas. Antara interaksi kita kepada manusia dalam rangka menejerial bumi dan interaksi kita kepada Tuhan dalam rangka tugas kita sebagai ciptaan-Nya yang harus menundukkan diri kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” .

***

IKHTITAM

Setidaknya, ada empat golongan umat manusia yang dibutuhkan untuk menjalankan kekhalifahan manusia di muka bumi ini. Ke empat golongan manusia yang harus ada itu adalah golongan yang seperti Abu Bakar, 'Umar ibn Khatab, Usman ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Thalib. Sebagaimana penjelasan di atas tentang ke empat sahabat Nabi itu, sifat yang mereka miliki merupakan manifestasi dari ke empat sifat mulia Rasulullah saw.

Dalam menjalankan kekhalifahan di muka bumi dibutuhkan seorang konseptor, perumus konsep-konsep di bidang agama, politik, sains, dan teknologi. Ini adalah golongan Ali ibn Abi Thalib Al-Murtadha pewaris dari sifat Fathonah Nabi, manifestasi dzat baik yang dimiliki Rasulullah saw. mereka adalah pengabdi-pengabdi pada Dzat Allah.
Pada pecinta kebenaran (shiddiqin) adalah mereka yang adalah mereka yang tergabung sebagai "dinamisator". Pemilik sifat-sifat, karakter, dan kepribadian yang luhur. Ini adalah golongan Abu Bakar As-Shidiq, manifestasi dari sifat-sifat baik yang selalu terpancar dari dalam diri Rasulullah saw. Mereka adalah pengabdi sifat-sifat Allah.

Golongan syuhada adalah mereka yang tergabung sebagai "motivator". Penyandang nama baik kesatuan profesinya. Ini adalah golongan Umar ibn Khatab al-Faruq, manifestasi dari nama baik yang senantiasa dijaga Rasulullah saw. Mereka adalah pengabdi-pengabdi asma Allah.

Golongan orang-orang saleh (shalihin) adalah mereka yang tergabung sebagai "fasilitator". Penyuplai dana dan kreator-kreator yang produktif. Ini adalah golongan Utsman ibn Affan Dzun-Nurrain, manifestasi dari perbuatan-perbuatan baik yang senantiasa dilakukan Rasulullah saw. Mereka adalah pengabdi-pengabdi terhadap perbuatan-perbuatan (af'al) Tuhan .

Wa ba’dhu, kelayakan manusia mendapatkan julukan ahsan-u ‘l-taqwim, sebagai puncak ciptaan Tuhan, serta keunggulan kualitasnya itu masih harus diperjuangkan dan disempurnakan oleh manusia sendiri. Dalam konteks keIslaman, seorang muslim haruslah mencontoh kepribadian Nabi Muhammad saw. sebagai uswah hasanah, yang berakhlaq mulia serta mementingkan urusan ukhrawi tanpa melalaikan duniawi. Itulah sarana untuk mencapai puncak tujuan hidup kita, sa'adatuddarain (kebahagiaan duniawi dan ukhrawi). Wallahu a’lam bis shawab.


Daftar Pustaka
Al Qur’an al-Karim
as-Sunan alKubra lil Baihaqi. Juz 10.
al-Mu’jam al-Awsath li at-Thabrani, Juz 14.
Musnad as-Syihab al-Qadha'I, Juz 4.
Al-Ghazali, Mutiara Ihya' Ulumuddin; Ringkasan yang Di tulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam, Diterjemahkan dari Mukhtasar Ihya' Ulumuddin Karya Al-Ghazali, Penerjemah: Irwan Kurniawan (Bandung: PT Mizan Pustaka)
Bisri A.Mustofa, Fid-Dunya Hasanah WaFil-Akhirati Hasanah, 16 Nopember 2009 10:17:04, http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=10&id=1079
Cassirer Erns, An Essay on Man, (Yale: University Press).
Hidayat Komaruddin, Psikologi Ibadah; menyibak arti menjadi hamba dan mitra Allah di bumi, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta).
Hart Michael H., Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982 (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001)
Husain Haekal Muhammad, Sejarah hidup Muhammad, Seri pustaka Islam (Jakarta: Pustaka Jaya, 1979)
Ibn Abbas, tanwirul muqbas, juz 1
Imam Suyuti, Jami'ul Ahadis, juz 15
Zuhri Muhammad, Hidup Lebih Bermakna; Panduan mempertanggungjawabkan iman secara rasional, menyelami kedalaman spiritual dalam ibadah ritual, merasakan kehadiran Tuhan dalam beramal, dan menemukan esensi agama untuk perubahan individu dan sosial (Jakarta:PT Serambi Ilmu Semesta Anggota IKAPI Agustus 2007)
Mahfudh Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS )
Paul Taylor, W., Problems of Moral Philosophy. (California: Deckenson Publishing Compant Inc.)

Selasa, 27 April 2010

Ilmu Dunia dan Akhirat

Tulisan ini adalah jawaban singkat untuk temanku yang beberapa hari lalu telah mengirimkan sebuah pertanyaan melalui via email kepada saya. Isi pertanyaan cukup singkat, namun cukup membuatku tertarik untuk mencoba menjelaskan atau menjawabnya sesuai dengan yang selama ini aku pahami. Kurang lebih isi pertanyaan tersebut adalah:

“ Mas, ma’af kalau ngganggu, dulu aku pernah denger ada syi’ir tapi lupa bunyi baitnya, yang artinya kurang lebih seperti ini...”Ilmu adalah cahaya, dan ilmu Allah hanya di berikan kepada orang yang bersih hatinya”.. tapi kalo di pikir-pikir memang iya... saya ngrasa dulu mudah sekali menghafalkan..em.....tapi sekarang susah banget kalo ngapalin..lha wong sekarang banyak maksiat.....Eh tapi kok orang barat banyak yang pinter njeh...? mungkin sampean bisa ngebantu jawab..?”

***

Bismillahirrahmanirrahim…

Barangkali kalau tidak salah yang dimaksud dari pertanyaan temanku di atas adalah terkait syi’ir-nya Imam Syafi’i dibawah ini:

شكوت إلى وكيع سوء حفظي * فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخبرني بأ ن العلم نور * و نورالله لا يهدى لعاصي

Hem...menurut hemat al-Ghazali ulama itu terbagi menjadi dua; ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama akhirat adalah ulama yang mampu menghantarkan seseorang menuju pengetahuan tentang Allah, yang mampu menghantarkan seseorang menuju ma’rifat, mukasyafah dan musyahadah maring Gusti. Yang biasanya dalam hal ini diwakili oleh para mursyid tariqah (para sufi). Adapun ulama dunia dimaksudkan; ulama yang mengarahkan seseorang tentang ilmu-ilmu syari’at ataupun mu’amalah, interaksi hubungan dengan insan dan tata cara beribadah sebagaimana fuqaha’. Kalau ada pembagian wilayah ulama akhirat dan ulama dunia, berarti ilmu itu pun terbagi wilayahnya menjadi dua, ilmu dunia dan akhirat.

Sa’at masih di sekolah dulu, saya memiliki Guru yang kurang setuju dengan pandangan al-Ghazali atas pembagian ilmu dunia dan akhirat, dengan alasan itu akan mereduksi sebuah keilmuan. Menurut beliau, semua ilmu, apapun itu kalau mampu menghantarkan pada-Nya itu-pun bisa dikatakan ilmu agama (akhirat). Sebaliknya jika sebuah ilmu tidak mampu menghantarkan pada-Nya maka ia termasuk ilmu umum (dunia), meski ia termasuk bagian dari ilmu agama. Namun dalam hematku sendiri, pandangan Guru saya itu memang ada benarnya, namun jika ditinjau dari perspektif lainnya, saya sependapat dengan pandangan al-Ghazali bahwa wilayah ilmu tetap terbagi menjadi dua, antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sebab, jika pemutusan antara ilmu itu dikatakan ilmu akhirat hanya dengan karena mampu menghantarkan kepada-Nya, maka nanti akan terjebak pada kenisbian atau relativisme manusia. Dan realitanya sangat jarang sekali ilmu-ilmu dunia (ilmu-ilmu bayani atau mu’amalah) mampu menghantarkan pada-Nya, dikarenakan tergantung dengan sifat lahiriah dan batiniah manusia.

Berbeda dengan ilmu yang telah pasti fokus untuk mengenal Allah, dengan berbagai konsepnya (ilmu-ilmu irfani atau tasawuf) yang telah dekat dan lebih mampu menuju pada-Nya, meski tidak semua orang bisa sampai pada tujuan menuju Tuhannya. Sebab Gusti Allah hanya dapat dituju tatkala seorang diri telah bersih dari perkara-perkara madzmumah (telah memancarkan sifat mahmudah). Gusti Allah hanya bisa dituju tatkala diri telah memancarkan sinar rabbaniyah-Nya. Dan itu lebih bisa dipastikan dengan pengamalan amaliah ilmu akhirat (konsep tasawuf). Untuk itulah, pemetaan wilayah ilmu dalam hemat al-Ghazali dalam perspektif ini ada benarnya.

Terkait bait dari Diwan-nya Imam Syafi’i di atas, dalam hemat saya bahwa bait tersebut hanya berlaku pada ilmunya Gusti Allah, dalam arti ilmu yang diberikan langsung oleh Allah kepada hamba-Nya yang sholih. Sebagaimana ilmu laduni, ilmu kasyf beserta kawan-kawannya (ilmu dhoruri atau ilmu yang diberikan langsung oleh Allah tanpa usaha). Kalau ilmu-ilmu yang bersifat kasbi (ilmu yang didapat melalui usaha) sebagaimana tafsir, fiqh, hadis, tarikh dan seterusnya, bait diatas tidak berlaku. Masalah orang-orang barat bisa pintar, cerdas, memiliki ide-ide yang cemerlang dikarenakan mereka serius dalam ikhtiar belajarnya. Mereka tak pernah lelah sampai benar-benar mengetahui rahasia dibalik permasalahan yang ada.

Sebagaimana pengalaman yang saya dapat sekarang ini, bahwa orang non Asia tingkat belajarnya itu...hem...ndak seperti orang Asia... jauh sekali perbandingannya dengan orang Asia. Setiap saat, pagi, siang, dan malam mereka tak hentinya membaca dan menghafal. Maka tak heran jika mereka bertambah cerdas, bertambah pintarnya.
Hasil dari usaha-usaha (ikhtiyar) yang mereka jalani adalah salah satu wujud bukti dari salahsatu firman Allah di surat Ar Ra'd ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Sehingga sangatlah wajar jika mereka (dalam hal pertanyaan di atas adalah orang barat) cerdas, pinter dan semakin tinggi tingkat intelegensinya.

Dulu saya sepemahaman dengan temanku, kalau kita sulit menghafal dikarenakan banyak berma’siat. Kalau di pikir-pikir memang ada betulnya juga, meski tidak selamanya begitu... sebab tatkala kita meminimalisir ma’siat dan bertambah taqarrub ila Allah, Insya Allah jika diri kita semakin dekat, Allah pun akan semakin dekat juga dengan kita. Semakin kita bermunajat dan meminta apa yang kita inginkan, semakin pula Ia mendengar dan mengijabahkan. Sebagaimana para ulama dulu, tatkala mereka mengalami kesulitan dalam menganalisa sebuah ilmu mereka mendirikan sholat dua raka’at terlebih dahulu dan berdo’a kepada Gusti, dan karena memang beliau-beliau sebagaimana Imam madzahibul arba’ah telah dekat dengan Allah swt. dan sangat sedikit ma’syiatnya maka tak heran jika beliau-beliau telah difutuhkan hatinya.

Sekedar berbagi, kalau menurut Syaikh Abdurrahim ar-Rukaini , Ada lima tingkatan dalam pembicaran ilmu; Ilmu muta’allimin, Ilmu Ulama’, Ilmu al-fath wa al-faidh, Ilmu laduni dan Ilmu al-Kasyf.

1. Ilmu Muta’alimin terkandung dalam ayat:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ( الأنبياء : 7)

…maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.

Untuk saat ini dalam tingkatan inilah posisi kita, kita masih diwajibkan untuk senantiasa bertanya dan menimba ilmu pada seseorang yang lebih mengetahui wilayah-wilayah itu. Dalam hal ini, kita tidak diperkenankan untuk takabbur atau sum’ah bahwa kitalah yang lebih tau. Masihkah ingat akan cerita Nabi Musa sa’at muncul sifat takabburnya tatkala ditanya oleh salah seorang dari umatnya kepadanya?:

"Wahai Musa, siapakah di atas bumi Allah ini yang paling pandai dan paling berpengetahuan?"
"Aku", jawab Musa.
Apakah tidak ada kiranya orang yang lebih pandai dan lebih berpengetahuan daripadamu?" Tanya lagi si penanya itu.
"Tidak ada" , ujar Musa seraya berkata dalam hati kecilnya: " Bukankah aku Nabi terbesar di antara Bani Isra'il? Aku adalah penakluk Fir'aun, pemegang berbagai mukjizat, yang telah dapat membelah laut dengan tongkatku dan akulah yang memperoleh kesempatan bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Maka kemuliaan apa lagi yang dapat melebihi kemuliaan serta kebesaran yang aku capai itu, yang belum pernah dialami dan dicapai oleh siapa pun sebelum aku."

Rasa sombong dan keunggulan diri yang tercermin dalam kata-kata Nabi Musa, dicela oleh Allah yang memperingatkan kepadanya bahwa ilmu itu adalah lebih luas untuk dimiliki oleh seseorang walaupun ia adalah seorang rasul. Dan perlu kita ingat bahwa bagaimana luasnya ilmu dan pengetahuan seseorang, niscaya akan terdapat orang lain yang lebih pandai dan lebih alim daripadanya. Untuk melanjutkan kekurangan yang ada pada diri Nabi Musa Allah memerintahkan kepadanya agar menemui seorang hamba-Nya di suatu tempat di mana dua lautan bertemu. Hamba yang soleh yang telah diberinya rahmat dan ilmu oleh Allah itu akan memberi tambahan pengetahuan dan ilmu kepada Nabi Musa sehingga dapat menjadikan sadar bahwa tiada manusia yang dapat membanggakan diri dengan mengatakan bahwa akulah orang yang terpandai dan berpengetahuan luas di atas bumi ini.

2. Ilmu Ulama terkandung dalam ayat:

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ ) [سورة الزمر: 9]

"Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"

Dalam hal ini Allah jelas mengangkat derajat antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. Allah telah membedakan derajat keduanya, antara alim dan jahil. Ada jurang pemisah antara mengerti dan tak mengerti, antara paham atau tidak…yakni sebuah pengetahuan, sebuah ilmu yang dimilikinya. Sebab ilmu layaknya mutiara, dimanapun posisinya, dimanapun tempat wadahnya, kapanpun akan tetap berharga. Meski posisinya berada dibawah laut, ia akan tetap dicari untuk diangkat posisinya menjadi penghias manusia. Meski tempat wadah pembungkusnya sejelek apapun ia akan tetap memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibanding lainnya. Dan selamanya akan tetap bernama mutiara yang indah dan mengindahkan.

Sebagaimana orang yang berilmu… meski kelas sosialnya, baik secara lahiriah ekonominya rendah, di pelosok pun tempatnya, dan tak perduli siapa yang memilikinya, karena ia adalah sebuah ilmu, maka ia pun akan tetap dicari, akan tetap terangkat derajatnya, ia akan tetap bersinar dan tetap menyinari sekelilingnya. Tidakkah kita mengenal al-Ghazali, al-Kindi, ibn Sina, ibn Rusyd, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hanbali? Semua orang telah mengenal nama harum mereka, mengenal pemikiran dan hasil karyanya. Lagi-lagi yang menjadikan mereka masyhur adalah karena ilmunya, karena sebuah mutiara yang telah bersinar memancarkan sinarnya.

3. Ilmu al-Fathi wa al-faidh terkandung dalam ayat:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم ٌ ) البقرة : 282)

Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dalam tafsirnya Imam Thobari ayat ini dita’wil oleh Abu Ja’far; bahwa seseorang yang bertaqwa kepada Allah dalam arti seorang yang senantiasa takut akan melakukan larangan-larangan-Nya dan senantiasa ber- tadarru’ maka akan dipermudahkan oleh Allah untuk dapat memahami ilmu-ilmu-Nya yang telah tersebar di ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Baik dipermudahkan untuk memahami hukum-hukum Allah ataupun hukum-hukum makhluk-Nya. Baik tatacara interaksi vertikal atau interaksi horisontal. Dalam hal ini pula seseorang diwajibkan untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama hidupnya. dan Allah akan mengontrolnya dengan sifat-Nya yang Maha Mengetahui.

Al-Qur’an sebagai dustur agama kita telah banyak menuturkan derajat ataupun ganjaran bagi orang yang bertakwa, salahsatunya di ayat 28 dalam surat al-Hadiid. Dalam ayat tersebut orang yang bertaqwa kepada Allah dan mengimani rasul-Nya maka akan diberikanlah dua rahmat-Nya, yakni menjadikan untuk kita cahaya yang dengan cahaya itu kita dapat berjalan dan Dia akan mengampuni kita. Dengan adanya cahaya itulah kita akan dengan mudah mendapatkan petunjuk-Nya untuk memahami ilmu-ilmu-Nya. Dengan cahaya itu pula keburaman hati akan tersinari dan memancarkan cahayanya, sehingga pemahaman kita pun akan semakin bertambah. Dengan taqwa, seseorang akan memenuhi hidupnya dengan hal-hal positif dan menjauhkan dari hal-hal yang tiada guna. Sehingga dalam hal ini pulalah secara tidak langsung ia akan senantiasa berusaha membaca realita yang ada, memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya serta merefleksikan dan menganalisa semua yang ada di dunia ini, termasuk dalam ilmu-ilmu agama atau ilmu-ilmu dunia. Dan pada akhirnya seseorang akan keluar dari jurang kebodohan dan menuju cahaya pengetahuan.

4. Ilmu Laduni terkandung dalam ayat:

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آَتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (الكهف : 65)

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Dalam kaitan ilmu laduni ini, Allah akan memberikannya kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih. Tidak semua hamba diberikan ilmu laduni, sebab ilmu ini merupakan ilmu untuk mengetahui hal-hal yang masih belum dan akan terjadi. Dalam ayat di atas, hamba Allah terpilih itu adalah Khidir , seorang hamba Allah yang sholih dan telah diberikan kelebihan ilmu untuk mengetahui sesuatu dibalik realitas yang ada. Ilmu laduni merupakan ilmu bathin sebagaimana ilham langsung dari Allah swt. secara tiba-tiba tanpa melalui usaha. Ilmu laduni merupakan sebuah ilmu yang mampu melihat rahasia kedepan. Seseorang yang memiliki ilmu laduni, akan memperoleh pengetahuan tanpa usaha sebelumnya.

5. Ilmu al-Kasyf terkandung dalam ayat:

لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ (ق: 22)

“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”

Seseorang yang telah memiliki ilmu al-Kasyf (mukasyafah) akan diberikan ketajaman penglihatan hati sehingga ia mengetahui sesuatu yang haq dan bathil. Allah akan menyingkapkan penglihatan hambanya yang telah mencapai derajat mukasyafah. Sehingga, rahasia-rahasia yang belum diketahui sebelumnya dengan tiba-tiba akan diketahui setelah dibukakannya penglihatan mata hatinya. Derajat mukasyafah hanya diberikan kepada orang khusus pula. Rata-rata seseorang mukasyafah sudah mencapai derajat wali -dirinya telah mencapai derajat yang tinggi disisi Tuhannya-. Ia telah menjadi kekasih Tuhannya, sampai-sampai penglihatannya pun telah mencapai derajat tertinggi pula. Seorang mukasyafah, ia akan melihat ‘sebagian’ rahasia yang ada, baik rahasia sesama manusia, rahasia hewan, rahasia jin, dan rahasia ghaib lainnya, meski rahasia yang ia ketahui tidak semuanya, sebab hanya Allah lah yang mengetahui semua rahasia yang ada.

Mungkin itulah yang bisa aku bagi, mohon ma’af jika banyak kekurangan dalam jawaban ini. Itulah aku, itulah manusia. Wallahu A’lam

Khartoum, 27 April 2010
Abdi Gusti,
Taufiq Zubaidi

Kamis, 08 April 2010

Refleksi Hadis Qudsi Bagikan

Sejenak, refleksikanlah sebuah hadis qudsi yang sangat penting sekali untuk kita ingat selalu, kita renungkan ulang isi dari kandungan hadis dibawah ini. Suatu ketika datanglah malaikat Jibril kepada Kanjeng Nabi Muhammad yang berisi;

جاء جبريل عليه السلام إلى النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال : « يا محمد ، عش ما شئت فإنك ميت ، وأحبب من أحببت فإنك مفارقه ، واعمل ما شئت فإنك مجزي به »

Kurang lebih artinya; wahai Muhammad, lakukanlah semaumu...namun ingatlah bahwa engkau pasti mati. Cintailah siapa yang engkau pilih untuk kau cintai, sesungguhnya engkau pasti akan berpisah dengannya. Dan lakukanlah semua yang kau inginkan, namun ingatlah bahwa nanti kau sendirilah yang mempertanggung jawabkannya.

Dari hadis tersebut, setidaknya ada tiga pelajaran yang bisa kita ambil hikmah dalam menjalani kehidupan singkat ini. Pertama; telah memberikan kepada kita sebuah pelajaran yang menghantarkan bahwa ”sebuah kebebasan pasti menyimpan sebuah konsekuensi”. Dalam hadis tersebut telah mengajak kita untuk berkreasi sekaligus menanggung sebuah konsekuensi yang perlu kita pertanggung jawabkan. Kita dipersilahkan sebebas-bebasnya untuk berekspresi, entah pengen jadi kiai, pengen jadi intelektual, pengen jadi petani, pengen jadi guru, pengen jadi pengusaha, pengen jadi orang biasa...semuanya terserah...!!! ekspresikanlah semua yang kita inginkan. Tapi perlu kita ingat bahwa kita pasti mati. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana supaya kita ini tidak mati? Bagaimana agar kita bisa mencapai derajat tersebut? Sebagaimana derajatnya Mbah Mutamakkin, Mbah Dullah, Mbah Mahfudh, wali songo dll (rodiyallahu ’anhum). Sebuah derajat yang sangat tinggi di sisi-Nya sehingga sebagaimana yang telah di firmankan oleh Allah dalam dustur kita sebagai muslim;

وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan (memiliki sebuah perkiraan) terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
Hem....semoga... meski suatu sa’at kita meninggal, namun kita tetep bisa memberikan manfa’at kepada orang lain dengan kontribusi pemikiran, amal, laku hidup kita. Sehingga meski kita telah tiada, namun kita tetap dikenang oleh orang yang masih hidup. Amien.

Kedua, kita diberikan kebebasan untuk mencintai semua yang ada; mencintai bapak
ibu’, mencintai keluarga, mencintai istri, mencintai suami, mencintai anak, mencintai lingkungan, mencintai harta, mencintai baik yang berupa materi atau spirit. Namun perlu kita ingat bahwa apa yang telah kita cintai dengan sekuat itu suatu saat pasti akanlah pisah. Maka yang menjadi permasalahan penting adalah bagaimana agar kita dalam mencintai itu tidak bisa berpisah? Hem...kalau posisi kita ini adalah seorang anak, maka arahkanlah orang tua kita agar bisa mencintai sebuah cinta yang tak pisah, yakni; mencintai Gusti, mencintai kanjeng Nabi beserta keluarganya, mencintai shohabat dan ulama’-ulama’. Cinta kepada semua yang telah saya sebutkan tadi adalah cinta yang takkan pernah terputus... karena ketika kita mencintai Allah, mencintai Nabi dan seterusnya tadi itu, maka keterikatan cinta kita akan berkesinambungan sampai alam akhirat nanti.

Ketiga; kita juga diberik kebebasan yang sangat bebasnya, diperkenankan melakukan apapun sesuai yang kita kehendaki dan kita inginkan. Pengen mengisi hari-hari kita dengan belajar njeh monggo, pengen njagong nggeh monggo, pengen kluyuran njeh monggo....Namun perlu kita ingat bahwa apa yang kita lakukan itu manfa’at atau tidak, kelak pasti akan dimintai pertanggungjawaban ni’mat yang telah diberikan-Nya pada kita itu. Dalam firman-Nya Allah mengingatkan pada kita;

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Nah...yang patut kita perhatikan adalah, bagaimana agar amalan yang kita kerjakan itu bisa bernilai ibadah...? bagaimana agar setiap bergerak itu memiliki muatan ibadah....? nah itu semua kembali pada tatanan niatan kita, sebagaimana hadis ”innamal a’malu binniyat” itu. Dan ketika melakukan niat, berarti harus dibarengi dengan bacaan basmalah dan alhamdulillah. Sebab kanjeng Nabi senantiasa mencotohkan demikian dan bersabda;

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كل أمر ذى بال لا يبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم أقطع
« كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه بالحمد لله أقطع »

Hem….sebuah amalan..apapun itu, kalau tidak dimulai dengan bismillah atau hamdalah, maka amalan itu akan terputus.

Para ahli ilmu sering menjelaskan bahwa yang dimaksud keputus disini adalah terputus berkahnya….dalam arti sebuah amalan tidak memiliki keberkahan jika tidak dimulai dengan bacaan basmalah atau hamdalah. Untuk itulah sebuah siasat sangat diperlukan untuk memasukkan ibadah kedalam amalan kita. Sehingga setiap gerakan kita memiliki muatan ibadah…dan antara urusan duniawi dan ukhrowi memiliki sinergi…dan pada nantinya menghantarkan pada fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah…sa’adatuddarain…wallahu a’lam bissowab…

khartoum, 9 April 2010

taufiq zubaidi

Rabu, 07 April 2010

Risalah Singkat di Hari yang Penuh Berkah

Kagem Gusti Allah;
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
di Manapun Berada

Salam hamba selalu untuk Gusti…
Puji hamba cukup untuk Gusti…

Dengan Menyebut nama Agung-Mu wahai Tuhanku yang sangat Mengasihi dan Menyayangiku… segala lantunan puji hanya untuk-Mu wahai Dzat yang Merajai alam semesta… Engkaulah Dzat yang Awal, maka tak ada sesuatu apapun yang mengawali sebelum Engkau… Engkaulah Dzat yang Akhir, maka tak ada sesuatu apapun yang mengakhiri setelah Engkau… Engkaulah Dzat yang Paling Teratas, maka tak ada sesuatu apapun yang diatas Engkau… Engkaulah Dzat yang Paling Mengetahui segala rahasia, maka tak ada sesuatu apapun yang mengetahui rahasia kecuali Engkau… Maka kabulkanlah apa yang aku mohon, dengarkanlah curhat hamba wahai Dzat yang Awal, Dzat yang Akhir, Dzat yang Dzahir, Dzat yang Bathin…
Gusti, entah… santun atau tidak aku menuliskan curhatan ini terkhusus untuk-Mu? Sopan ataukah tidak Gusti, di saat aku tuliskan risalah pendek untuk-Mu? Terlepas dari nilai kesantunan dan kesopanan-ku atas tulisan ini, aku hanya ingin sekali ini menorehkan isi hati ini melalui bahasa tulis, Gusti…. Tak tau kenapa tiba-tiba keinginanku begitu kuat untuk menuliskan suara hatiku melalui coretan ini. Padahal, tanpa aku ucapkan sebagaimana panjatan-panjatan do’aku, tanpa aku tulis seperti ini, tabir sehelai pun takkan dapat menutupi-Mu tuk mengetahui segala isi pikir-ku, ucapku dan inginku. Engkaulah Dzat yang mengetahui segala isi alam semesta ini, Engkau juga-lah yang mengetahui atom-atom, molekul, nuqtah kecil atau dzarrah yang tak kasat mata. Sehingga aku pun tak heran jika Engkau lebih Mengetahui segala rahasia diri ini daripada hamba sendiri wahai Gusti. Pripun Gusti…? Bolehkan, aku menuliskannya…?
Gusti… sebenarnya dalam risalah singkat ini, hamba hanya ingin melaporkan diri bahwa; setelah Engkau tambahkan hari demi hari kesempatanku untuk menikmati hidup di dunia ini, setelah hari itu menjadi minggu, bertambah menjadi hitungan bulan, maka tepat hari ini hamba telah Engkau tambah umur hamba genap satu tahun lagi. Atau yang sering di sebut hamba-hamba-Mu yang lain dengan ucapan ‘Ulang Tahun’. Terimakasih Gusti, Engkau telah menambahkan umur padaku... Barangkali, disaat bertambah umurku, karena sedang berproses, pastinya diantara kelebihan yang Engkau berikan... aku pun memiliki penghias luput dalam hidup sesa’at ini, baik laku…tutur kata atau pikirku…. Untuk itu Gusti, jagalah serta tambahkanlah kelebihan itu, dan minimalisir-lah keluputan itu...

Gusti, Engkau pastinya lebih mengetahui ketimbang diri ini atas seorang yang sedang bertambah umurnya ini... pastinya Engkaupun yang lebih mengetahui planning. angan dan cita-cita hamba selama hidup nanti. Engkau yang lebih tau garis hidup masa depan hamba, Engkau yang lebih tau atas seluruh permasalahan-permasalahan yang telah, sedang dan akan terjadi. Untuk itu Gusti, di hari bertambah umur hamba kali ini... hamba yang faqir ini mohon dengan sangat untuk mengampuni segala kekhilafan yang tercipta, menambahkan kualitas amal-amal ibadah hamba, menambah hamba untuk semakin dekat pada-Mu, menambahkan hamba untuk semakin produktif, memberikan hamba kesempatan hidup yang penuh berkah dan petunjuk-Mu. Agar aku mampu merasa sebagaimana mestinya. Agar aku dapat memahami sebagaimana mestinya. Agar aku dapat mengerti sebagaimana mestinya. Agar aku dapat berbuat sebagaimana mestinya. Agar aku dapat berpikir sebagaimana mestinya. Agar aku dapat bertutur sebagaimana mestinya. Agar aku dapat mencinta sebagaimana mestinya. Agar aku dapat mengasihi sebagaimana mestinya. Agar aku dapat bertindak sebagaimana mestinya. Dan aku pun agar seprofesional dalam menempatkan porsi semuanya itu sebagai mestinya.

Gusti…suwun ingkang sanget atas pelajaran yang Engkau berikan. Semua yang telah Engkau ajarkan akan senantiasa menjadi modal untuk membenahi laku pikirku yang masih belum aku benahi sepenuhnya. Terimakasih telah Engkau tunjukkan padaku atas kekurangan, kecorobohan, kebodohanku saat ini. Tolong… paparkanlah sedini mungkin semua kekurangan-kekuranganku saat ini, untuk segera aku benahi…untuk segera aku bersihkan dari kotoran-kotoran sifat madzmumah itu… Gusti…ma’afkan aku jika dalam waktu yang sangat singkat itu aku belum bisa sebagaimana yang di inginkan sepenuhnya… sekali lagi bimbinglah hamba Gusti…

Gusti, senantiasa jagalah hamba dan jagalah ikhtiar hamba dalam proses pencarian hamba. Senantiasa berilah ridlo-Mu pada hamba dan ridloilah segala bentuk ikhtiar hamba. Berilah kemudahan untuk hamba, orangtua hamba dan untuk teman hamba dalam menghadapi kehidupan dunia sesa’at ini. Berikanlah pada diri ini dan orang tua hamba dan temen-temen hamba ilmu yang barakah, rezeki yang barakah dan umur yang barakah serta sa’adatuddarain…Dihari yang penuh berkah ini aku tundukkan diri ini pada-Mu untuk berkenan mengkabulkan semua permintaanku Gusti…

Dalam panjatan do’aku ini, hamba sebenarnya tidaklah pantas untuk meminta kepada-Mu…sebab tanpa minta pun telah Engkau berikan kepada hamba keni’matan-keni’matan yang tak terhingga…telah Engkau berikan kepada hamba Kasih sayang-Mu kepada hamba, kepada orang tua hamba dan kepada keluarga Hamba… Namun, untaian do’a hamba kepada-Mu hanyalah bentuk ta’at hamba kepada Perintah-Mu… Untaian do’a ini adalah bentuk curhatku kepada Engkau atas apa yang sedang aku impikan dan citakan… Untaian do’a ini hanyalah bentuk curhat seorang hamba kepada Tuhan Agungnya… Untaian do’a ini adalah bentuk keterbatasan hamba…yang tak mampu melakukan apapun tanpa peran Tuhannya… Maka, dalam do’aku ini aku mohon dengan sangat wahai Dzat yang Pengasih lagi Penyayang, Dzat yang Pema’af lagi Pemurah… Untuk Engkau kabulkan permintaan hamba…

Engkau lebih mengetahui kapasitas hamba daripada hamba…. Engkau lebih mengetahui diri hamba daripada hamba… Engkau lebih tau akan segala kekurangan hamba daripada Hamba… Engkau lebih tau pribadi hamba daripada hamba… Maka, hamba yang sangat membutuhkan Kasih Sayang-Mu ini…memohon dengan sangat untuk memudahkan segala urusan hamba… Hamba mohon agar Engkau mudahkan dalam belajar… Hamba mohon agar Engkau bukakan pintu hati ini… Bukakan lah tirai hati ini wahai Dzat yang membuka segala tabir para makhluk… Agar hati ini bisa terbuka dengan lebar untuk menerima ilmu-ilmu-Mu… Agar pikir ini bisa semakin luas mengembangkan ilmu-ilmu yang Engkau berikan padaku… Agar cahaya-Mu bisa memancarkan kepada hatiku… Agar hati ini tidak semakin keras… Agar hati hamba-Mu ini semakin lunak… Dan hati ini semakin memancarkan cahaya terang-Mu…

Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim… Hamba yang rapuh ini tak lelah-lelahnya tuk memohon kepada Engkau… Hamba yang lemah ini masih ingin untuk memohon kepada Engkau… Maka, kabulkanlah permohonan hamba ini… Sebab, kepada siapa lagi hamba memohon kalau tidak kepada Engkau… Hanya Engkaulah yang dapat mengabulkan permintaan hamba.. Hanya kepada Engkaulah aku memohon segala apa yang aku cita dan inginkan…

Gusti, tiba-tiba aku ingat kalau Engkau telah berfirman pada kami semua melalui Kitab Suci-Mu al-Qur’an, bahwa; segala yang pernah hidup pasti akan pernah merasakan kematian. Dan kematian makhluk-makhluk-Mu telah Engkau pastikan sejak ruh makhluk Engkau tiupkan. Dan pastinya hamba pun telah Engkau gariskan kapan ajal akan menjemput hamba, dan kapan kematian itu akan aku rasakan. Untuk itu Gusti, karena aku tak mengetahui rahasia semua itu, kapan Engkau akan memanggilku, kapan Engkau utuskan Izra’il untuk menjumpaiku…beserta dimana posisi tempat dan apa yang sedang aku lakukan itu adalah misteri, maka hamba memohon satu permintaan saja Gusti; akhirilah perjalanan hamba dalam pangkuan ridlo-Mu. Cukup, niku mawon barangkali catatan curhat hamba untuk kali ini… atas kekurang santun atau kurang sopan-nya hamba… dari hati yang sangat dalam hamba haturkan ma’af ingkang kathah…

Wasallahu ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad…
Wa akhiru hadzihi risalati anil hamdulillahi rabbil ‘alamin…

Khartoum, 08 April
Abdi Panjenengan

Taufiq Zubaidi