Sugeng Rawuh di Dunia Kecil-ku

Matur suwun telah berkenan berkunjung ke dunia kecilku...dunia ilusiku yang palsu dan bisu...

GAMBAR ILUSI-KU

GAMBAR ILUSI-KU
Hanya sebuah gambar yang palsu dan bisu

Selasa, 27 April 2010

Ilmu Dunia dan Akhirat

Tulisan ini adalah jawaban singkat untuk temanku yang beberapa hari lalu telah mengirimkan sebuah pertanyaan melalui via email kepada saya. Isi pertanyaan cukup singkat, namun cukup membuatku tertarik untuk mencoba menjelaskan atau menjawabnya sesuai dengan yang selama ini aku pahami. Kurang lebih isi pertanyaan tersebut adalah:

“ Mas, ma’af kalau ngganggu, dulu aku pernah denger ada syi’ir tapi lupa bunyi baitnya, yang artinya kurang lebih seperti ini...”Ilmu adalah cahaya, dan ilmu Allah hanya di berikan kepada orang yang bersih hatinya”.. tapi kalo di pikir-pikir memang iya... saya ngrasa dulu mudah sekali menghafalkan..em.....tapi sekarang susah banget kalo ngapalin..lha wong sekarang banyak maksiat.....Eh tapi kok orang barat banyak yang pinter njeh...? mungkin sampean bisa ngebantu jawab..?”

***

Bismillahirrahmanirrahim…

Barangkali kalau tidak salah yang dimaksud dari pertanyaan temanku di atas adalah terkait syi’ir-nya Imam Syafi’i dibawah ini:

شكوت إلى وكيع سوء حفظي * فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخبرني بأ ن العلم نور * و نورالله لا يهدى لعاصي

Hem...menurut hemat al-Ghazali ulama itu terbagi menjadi dua; ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama akhirat adalah ulama yang mampu menghantarkan seseorang menuju pengetahuan tentang Allah, yang mampu menghantarkan seseorang menuju ma’rifat, mukasyafah dan musyahadah maring Gusti. Yang biasanya dalam hal ini diwakili oleh para mursyid tariqah (para sufi). Adapun ulama dunia dimaksudkan; ulama yang mengarahkan seseorang tentang ilmu-ilmu syari’at ataupun mu’amalah, interaksi hubungan dengan insan dan tata cara beribadah sebagaimana fuqaha’. Kalau ada pembagian wilayah ulama akhirat dan ulama dunia, berarti ilmu itu pun terbagi wilayahnya menjadi dua, ilmu dunia dan akhirat.

Sa’at masih di sekolah dulu, saya memiliki Guru yang kurang setuju dengan pandangan al-Ghazali atas pembagian ilmu dunia dan akhirat, dengan alasan itu akan mereduksi sebuah keilmuan. Menurut beliau, semua ilmu, apapun itu kalau mampu menghantarkan pada-Nya itu-pun bisa dikatakan ilmu agama (akhirat). Sebaliknya jika sebuah ilmu tidak mampu menghantarkan pada-Nya maka ia termasuk ilmu umum (dunia), meski ia termasuk bagian dari ilmu agama. Namun dalam hematku sendiri, pandangan Guru saya itu memang ada benarnya, namun jika ditinjau dari perspektif lainnya, saya sependapat dengan pandangan al-Ghazali bahwa wilayah ilmu tetap terbagi menjadi dua, antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sebab, jika pemutusan antara ilmu itu dikatakan ilmu akhirat hanya dengan karena mampu menghantarkan kepada-Nya, maka nanti akan terjebak pada kenisbian atau relativisme manusia. Dan realitanya sangat jarang sekali ilmu-ilmu dunia (ilmu-ilmu bayani atau mu’amalah) mampu menghantarkan pada-Nya, dikarenakan tergantung dengan sifat lahiriah dan batiniah manusia.

Berbeda dengan ilmu yang telah pasti fokus untuk mengenal Allah, dengan berbagai konsepnya (ilmu-ilmu irfani atau tasawuf) yang telah dekat dan lebih mampu menuju pada-Nya, meski tidak semua orang bisa sampai pada tujuan menuju Tuhannya. Sebab Gusti Allah hanya dapat dituju tatkala seorang diri telah bersih dari perkara-perkara madzmumah (telah memancarkan sifat mahmudah). Gusti Allah hanya bisa dituju tatkala diri telah memancarkan sinar rabbaniyah-Nya. Dan itu lebih bisa dipastikan dengan pengamalan amaliah ilmu akhirat (konsep tasawuf). Untuk itulah, pemetaan wilayah ilmu dalam hemat al-Ghazali dalam perspektif ini ada benarnya.

Terkait bait dari Diwan-nya Imam Syafi’i di atas, dalam hemat saya bahwa bait tersebut hanya berlaku pada ilmunya Gusti Allah, dalam arti ilmu yang diberikan langsung oleh Allah kepada hamba-Nya yang sholih. Sebagaimana ilmu laduni, ilmu kasyf beserta kawan-kawannya (ilmu dhoruri atau ilmu yang diberikan langsung oleh Allah tanpa usaha). Kalau ilmu-ilmu yang bersifat kasbi (ilmu yang didapat melalui usaha) sebagaimana tafsir, fiqh, hadis, tarikh dan seterusnya, bait diatas tidak berlaku. Masalah orang-orang barat bisa pintar, cerdas, memiliki ide-ide yang cemerlang dikarenakan mereka serius dalam ikhtiar belajarnya. Mereka tak pernah lelah sampai benar-benar mengetahui rahasia dibalik permasalahan yang ada.

Sebagaimana pengalaman yang saya dapat sekarang ini, bahwa orang non Asia tingkat belajarnya itu...hem...ndak seperti orang Asia... jauh sekali perbandingannya dengan orang Asia. Setiap saat, pagi, siang, dan malam mereka tak hentinya membaca dan menghafal. Maka tak heran jika mereka bertambah cerdas, bertambah pintarnya.
Hasil dari usaha-usaha (ikhtiyar) yang mereka jalani adalah salah satu wujud bukti dari salahsatu firman Allah di surat Ar Ra'd ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Sehingga sangatlah wajar jika mereka (dalam hal pertanyaan di atas adalah orang barat) cerdas, pinter dan semakin tinggi tingkat intelegensinya.

Dulu saya sepemahaman dengan temanku, kalau kita sulit menghafal dikarenakan banyak berma’siat. Kalau di pikir-pikir memang ada betulnya juga, meski tidak selamanya begitu... sebab tatkala kita meminimalisir ma’siat dan bertambah taqarrub ila Allah, Insya Allah jika diri kita semakin dekat, Allah pun akan semakin dekat juga dengan kita. Semakin kita bermunajat dan meminta apa yang kita inginkan, semakin pula Ia mendengar dan mengijabahkan. Sebagaimana para ulama dulu, tatkala mereka mengalami kesulitan dalam menganalisa sebuah ilmu mereka mendirikan sholat dua raka’at terlebih dahulu dan berdo’a kepada Gusti, dan karena memang beliau-beliau sebagaimana Imam madzahibul arba’ah telah dekat dengan Allah swt. dan sangat sedikit ma’syiatnya maka tak heran jika beliau-beliau telah difutuhkan hatinya.

Sekedar berbagi, kalau menurut Syaikh Abdurrahim ar-Rukaini , Ada lima tingkatan dalam pembicaran ilmu; Ilmu muta’allimin, Ilmu Ulama’, Ilmu al-fath wa al-faidh, Ilmu laduni dan Ilmu al-Kasyf.

1. Ilmu Muta’alimin terkandung dalam ayat:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ( الأنبياء : 7)

…maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.

Untuk saat ini dalam tingkatan inilah posisi kita, kita masih diwajibkan untuk senantiasa bertanya dan menimba ilmu pada seseorang yang lebih mengetahui wilayah-wilayah itu. Dalam hal ini, kita tidak diperkenankan untuk takabbur atau sum’ah bahwa kitalah yang lebih tau. Masihkah ingat akan cerita Nabi Musa sa’at muncul sifat takabburnya tatkala ditanya oleh salah seorang dari umatnya kepadanya?:

"Wahai Musa, siapakah di atas bumi Allah ini yang paling pandai dan paling berpengetahuan?"
"Aku", jawab Musa.
Apakah tidak ada kiranya orang yang lebih pandai dan lebih berpengetahuan daripadamu?" Tanya lagi si penanya itu.
"Tidak ada" , ujar Musa seraya berkata dalam hati kecilnya: " Bukankah aku Nabi terbesar di antara Bani Isra'il? Aku adalah penakluk Fir'aun, pemegang berbagai mukjizat, yang telah dapat membelah laut dengan tongkatku dan akulah yang memperoleh kesempatan bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Maka kemuliaan apa lagi yang dapat melebihi kemuliaan serta kebesaran yang aku capai itu, yang belum pernah dialami dan dicapai oleh siapa pun sebelum aku."

Rasa sombong dan keunggulan diri yang tercermin dalam kata-kata Nabi Musa, dicela oleh Allah yang memperingatkan kepadanya bahwa ilmu itu adalah lebih luas untuk dimiliki oleh seseorang walaupun ia adalah seorang rasul. Dan perlu kita ingat bahwa bagaimana luasnya ilmu dan pengetahuan seseorang, niscaya akan terdapat orang lain yang lebih pandai dan lebih alim daripadanya. Untuk melanjutkan kekurangan yang ada pada diri Nabi Musa Allah memerintahkan kepadanya agar menemui seorang hamba-Nya di suatu tempat di mana dua lautan bertemu. Hamba yang soleh yang telah diberinya rahmat dan ilmu oleh Allah itu akan memberi tambahan pengetahuan dan ilmu kepada Nabi Musa sehingga dapat menjadikan sadar bahwa tiada manusia yang dapat membanggakan diri dengan mengatakan bahwa akulah orang yang terpandai dan berpengetahuan luas di atas bumi ini.

2. Ilmu Ulama terkandung dalam ayat:

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ ) [سورة الزمر: 9]

"Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"

Dalam hal ini Allah jelas mengangkat derajat antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. Allah telah membedakan derajat keduanya, antara alim dan jahil. Ada jurang pemisah antara mengerti dan tak mengerti, antara paham atau tidak…yakni sebuah pengetahuan, sebuah ilmu yang dimilikinya. Sebab ilmu layaknya mutiara, dimanapun posisinya, dimanapun tempat wadahnya, kapanpun akan tetap berharga. Meski posisinya berada dibawah laut, ia akan tetap dicari untuk diangkat posisinya menjadi penghias manusia. Meski tempat wadah pembungkusnya sejelek apapun ia akan tetap memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibanding lainnya. Dan selamanya akan tetap bernama mutiara yang indah dan mengindahkan.

Sebagaimana orang yang berilmu… meski kelas sosialnya, baik secara lahiriah ekonominya rendah, di pelosok pun tempatnya, dan tak perduli siapa yang memilikinya, karena ia adalah sebuah ilmu, maka ia pun akan tetap dicari, akan tetap terangkat derajatnya, ia akan tetap bersinar dan tetap menyinari sekelilingnya. Tidakkah kita mengenal al-Ghazali, al-Kindi, ibn Sina, ibn Rusyd, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hanbali? Semua orang telah mengenal nama harum mereka, mengenal pemikiran dan hasil karyanya. Lagi-lagi yang menjadikan mereka masyhur adalah karena ilmunya, karena sebuah mutiara yang telah bersinar memancarkan sinarnya.

3. Ilmu al-Fathi wa al-faidh terkandung dalam ayat:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم ٌ ) البقرة : 282)

Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dalam tafsirnya Imam Thobari ayat ini dita’wil oleh Abu Ja’far; bahwa seseorang yang bertaqwa kepada Allah dalam arti seorang yang senantiasa takut akan melakukan larangan-larangan-Nya dan senantiasa ber- tadarru’ maka akan dipermudahkan oleh Allah untuk dapat memahami ilmu-ilmu-Nya yang telah tersebar di ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Baik dipermudahkan untuk memahami hukum-hukum Allah ataupun hukum-hukum makhluk-Nya. Baik tatacara interaksi vertikal atau interaksi horisontal. Dalam hal ini pula seseorang diwajibkan untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama hidupnya. dan Allah akan mengontrolnya dengan sifat-Nya yang Maha Mengetahui.

Al-Qur’an sebagai dustur agama kita telah banyak menuturkan derajat ataupun ganjaran bagi orang yang bertakwa, salahsatunya di ayat 28 dalam surat al-Hadiid. Dalam ayat tersebut orang yang bertaqwa kepada Allah dan mengimani rasul-Nya maka akan diberikanlah dua rahmat-Nya, yakni menjadikan untuk kita cahaya yang dengan cahaya itu kita dapat berjalan dan Dia akan mengampuni kita. Dengan adanya cahaya itulah kita akan dengan mudah mendapatkan petunjuk-Nya untuk memahami ilmu-ilmu-Nya. Dengan cahaya itu pula keburaman hati akan tersinari dan memancarkan cahayanya, sehingga pemahaman kita pun akan semakin bertambah. Dengan taqwa, seseorang akan memenuhi hidupnya dengan hal-hal positif dan menjauhkan dari hal-hal yang tiada guna. Sehingga dalam hal ini pulalah secara tidak langsung ia akan senantiasa berusaha membaca realita yang ada, memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya serta merefleksikan dan menganalisa semua yang ada di dunia ini, termasuk dalam ilmu-ilmu agama atau ilmu-ilmu dunia. Dan pada akhirnya seseorang akan keluar dari jurang kebodohan dan menuju cahaya pengetahuan.

4. Ilmu Laduni terkandung dalam ayat:

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آَتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (الكهف : 65)

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Dalam kaitan ilmu laduni ini, Allah akan memberikannya kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih. Tidak semua hamba diberikan ilmu laduni, sebab ilmu ini merupakan ilmu untuk mengetahui hal-hal yang masih belum dan akan terjadi. Dalam ayat di atas, hamba Allah terpilih itu adalah Khidir , seorang hamba Allah yang sholih dan telah diberikan kelebihan ilmu untuk mengetahui sesuatu dibalik realitas yang ada. Ilmu laduni merupakan ilmu bathin sebagaimana ilham langsung dari Allah swt. secara tiba-tiba tanpa melalui usaha. Ilmu laduni merupakan sebuah ilmu yang mampu melihat rahasia kedepan. Seseorang yang memiliki ilmu laduni, akan memperoleh pengetahuan tanpa usaha sebelumnya.

5. Ilmu al-Kasyf terkandung dalam ayat:

لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ (ق: 22)

“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”

Seseorang yang telah memiliki ilmu al-Kasyf (mukasyafah) akan diberikan ketajaman penglihatan hati sehingga ia mengetahui sesuatu yang haq dan bathil. Allah akan menyingkapkan penglihatan hambanya yang telah mencapai derajat mukasyafah. Sehingga, rahasia-rahasia yang belum diketahui sebelumnya dengan tiba-tiba akan diketahui setelah dibukakannya penglihatan mata hatinya. Derajat mukasyafah hanya diberikan kepada orang khusus pula. Rata-rata seseorang mukasyafah sudah mencapai derajat wali -dirinya telah mencapai derajat yang tinggi disisi Tuhannya-. Ia telah menjadi kekasih Tuhannya, sampai-sampai penglihatannya pun telah mencapai derajat tertinggi pula. Seorang mukasyafah, ia akan melihat ‘sebagian’ rahasia yang ada, baik rahasia sesama manusia, rahasia hewan, rahasia jin, dan rahasia ghaib lainnya, meski rahasia yang ia ketahui tidak semuanya, sebab hanya Allah lah yang mengetahui semua rahasia yang ada.

Mungkin itulah yang bisa aku bagi, mohon ma’af jika banyak kekurangan dalam jawaban ini. Itulah aku, itulah manusia. Wallahu A’lam

Khartoum, 27 April 2010
Abdi Gusti,
Taufiq Zubaidi

Kamis, 08 April 2010

Refleksi Hadis Qudsi Bagikan

Sejenak, refleksikanlah sebuah hadis qudsi yang sangat penting sekali untuk kita ingat selalu, kita renungkan ulang isi dari kandungan hadis dibawah ini. Suatu ketika datanglah malaikat Jibril kepada Kanjeng Nabi Muhammad yang berisi;

جاء جبريل عليه السلام إلى النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال : « يا محمد ، عش ما شئت فإنك ميت ، وأحبب من أحببت فإنك مفارقه ، واعمل ما شئت فإنك مجزي به »

Kurang lebih artinya; wahai Muhammad, lakukanlah semaumu...namun ingatlah bahwa engkau pasti mati. Cintailah siapa yang engkau pilih untuk kau cintai, sesungguhnya engkau pasti akan berpisah dengannya. Dan lakukanlah semua yang kau inginkan, namun ingatlah bahwa nanti kau sendirilah yang mempertanggung jawabkannya.

Dari hadis tersebut, setidaknya ada tiga pelajaran yang bisa kita ambil hikmah dalam menjalani kehidupan singkat ini. Pertama; telah memberikan kepada kita sebuah pelajaran yang menghantarkan bahwa ”sebuah kebebasan pasti menyimpan sebuah konsekuensi”. Dalam hadis tersebut telah mengajak kita untuk berkreasi sekaligus menanggung sebuah konsekuensi yang perlu kita pertanggung jawabkan. Kita dipersilahkan sebebas-bebasnya untuk berekspresi, entah pengen jadi kiai, pengen jadi intelektual, pengen jadi petani, pengen jadi guru, pengen jadi pengusaha, pengen jadi orang biasa...semuanya terserah...!!! ekspresikanlah semua yang kita inginkan. Tapi perlu kita ingat bahwa kita pasti mati. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana supaya kita ini tidak mati? Bagaimana agar kita bisa mencapai derajat tersebut? Sebagaimana derajatnya Mbah Mutamakkin, Mbah Dullah, Mbah Mahfudh, wali songo dll (rodiyallahu ’anhum). Sebuah derajat yang sangat tinggi di sisi-Nya sehingga sebagaimana yang telah di firmankan oleh Allah dalam dustur kita sebagai muslim;

وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan (memiliki sebuah perkiraan) terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
Hem....semoga... meski suatu sa’at kita meninggal, namun kita tetep bisa memberikan manfa’at kepada orang lain dengan kontribusi pemikiran, amal, laku hidup kita. Sehingga meski kita telah tiada, namun kita tetap dikenang oleh orang yang masih hidup. Amien.

Kedua, kita diberikan kebebasan untuk mencintai semua yang ada; mencintai bapak
ibu’, mencintai keluarga, mencintai istri, mencintai suami, mencintai anak, mencintai lingkungan, mencintai harta, mencintai baik yang berupa materi atau spirit. Namun perlu kita ingat bahwa apa yang telah kita cintai dengan sekuat itu suatu saat pasti akanlah pisah. Maka yang menjadi permasalahan penting adalah bagaimana agar kita dalam mencintai itu tidak bisa berpisah? Hem...kalau posisi kita ini adalah seorang anak, maka arahkanlah orang tua kita agar bisa mencintai sebuah cinta yang tak pisah, yakni; mencintai Gusti, mencintai kanjeng Nabi beserta keluarganya, mencintai shohabat dan ulama’-ulama’. Cinta kepada semua yang telah saya sebutkan tadi adalah cinta yang takkan pernah terputus... karena ketika kita mencintai Allah, mencintai Nabi dan seterusnya tadi itu, maka keterikatan cinta kita akan berkesinambungan sampai alam akhirat nanti.

Ketiga; kita juga diberik kebebasan yang sangat bebasnya, diperkenankan melakukan apapun sesuai yang kita kehendaki dan kita inginkan. Pengen mengisi hari-hari kita dengan belajar njeh monggo, pengen njagong nggeh monggo, pengen kluyuran njeh monggo....Namun perlu kita ingat bahwa apa yang kita lakukan itu manfa’at atau tidak, kelak pasti akan dimintai pertanggungjawaban ni’mat yang telah diberikan-Nya pada kita itu. Dalam firman-Nya Allah mengingatkan pada kita;

ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ

Nah...yang patut kita perhatikan adalah, bagaimana agar amalan yang kita kerjakan itu bisa bernilai ibadah...? bagaimana agar setiap bergerak itu memiliki muatan ibadah....? nah itu semua kembali pada tatanan niatan kita, sebagaimana hadis ”innamal a’malu binniyat” itu. Dan ketika melakukan niat, berarti harus dibarengi dengan bacaan basmalah dan alhamdulillah. Sebab kanjeng Nabi senantiasa mencotohkan demikian dan bersabda;

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كل أمر ذى بال لا يبدأ فيه ببسم الله الرحمن الرحيم أقطع
« كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه بالحمد لله أقطع »

Hem….sebuah amalan..apapun itu, kalau tidak dimulai dengan bismillah atau hamdalah, maka amalan itu akan terputus.

Para ahli ilmu sering menjelaskan bahwa yang dimaksud keputus disini adalah terputus berkahnya….dalam arti sebuah amalan tidak memiliki keberkahan jika tidak dimulai dengan bacaan basmalah atau hamdalah. Untuk itulah sebuah siasat sangat diperlukan untuk memasukkan ibadah kedalam amalan kita. Sehingga setiap gerakan kita memiliki muatan ibadah…dan antara urusan duniawi dan ukhrowi memiliki sinergi…dan pada nantinya menghantarkan pada fid dunya hasanah wa fil akhiroti hasanah…sa’adatuddarain…wallahu a’lam bissowab…

khartoum, 9 April 2010

taufiq zubaidi

Rabu, 07 April 2010

Risalah Singkat di Hari yang Penuh Berkah

Kagem Gusti Allah;
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
di Manapun Berada

Salam hamba selalu untuk Gusti…
Puji hamba cukup untuk Gusti…

Dengan Menyebut nama Agung-Mu wahai Tuhanku yang sangat Mengasihi dan Menyayangiku… segala lantunan puji hanya untuk-Mu wahai Dzat yang Merajai alam semesta… Engkaulah Dzat yang Awal, maka tak ada sesuatu apapun yang mengawali sebelum Engkau… Engkaulah Dzat yang Akhir, maka tak ada sesuatu apapun yang mengakhiri setelah Engkau… Engkaulah Dzat yang Paling Teratas, maka tak ada sesuatu apapun yang diatas Engkau… Engkaulah Dzat yang Paling Mengetahui segala rahasia, maka tak ada sesuatu apapun yang mengetahui rahasia kecuali Engkau… Maka kabulkanlah apa yang aku mohon, dengarkanlah curhat hamba wahai Dzat yang Awal, Dzat yang Akhir, Dzat yang Dzahir, Dzat yang Bathin…
Gusti, entah… santun atau tidak aku menuliskan curhatan ini terkhusus untuk-Mu? Sopan ataukah tidak Gusti, di saat aku tuliskan risalah pendek untuk-Mu? Terlepas dari nilai kesantunan dan kesopanan-ku atas tulisan ini, aku hanya ingin sekali ini menorehkan isi hati ini melalui bahasa tulis, Gusti…. Tak tau kenapa tiba-tiba keinginanku begitu kuat untuk menuliskan suara hatiku melalui coretan ini. Padahal, tanpa aku ucapkan sebagaimana panjatan-panjatan do’aku, tanpa aku tulis seperti ini, tabir sehelai pun takkan dapat menutupi-Mu tuk mengetahui segala isi pikir-ku, ucapku dan inginku. Engkaulah Dzat yang mengetahui segala isi alam semesta ini, Engkau juga-lah yang mengetahui atom-atom, molekul, nuqtah kecil atau dzarrah yang tak kasat mata. Sehingga aku pun tak heran jika Engkau lebih Mengetahui segala rahasia diri ini daripada hamba sendiri wahai Gusti. Pripun Gusti…? Bolehkan, aku menuliskannya…?
Gusti… sebenarnya dalam risalah singkat ini, hamba hanya ingin melaporkan diri bahwa; setelah Engkau tambahkan hari demi hari kesempatanku untuk menikmati hidup di dunia ini, setelah hari itu menjadi minggu, bertambah menjadi hitungan bulan, maka tepat hari ini hamba telah Engkau tambah umur hamba genap satu tahun lagi. Atau yang sering di sebut hamba-hamba-Mu yang lain dengan ucapan ‘Ulang Tahun’. Terimakasih Gusti, Engkau telah menambahkan umur padaku... Barangkali, disaat bertambah umurku, karena sedang berproses, pastinya diantara kelebihan yang Engkau berikan... aku pun memiliki penghias luput dalam hidup sesa’at ini, baik laku…tutur kata atau pikirku…. Untuk itu Gusti, jagalah serta tambahkanlah kelebihan itu, dan minimalisir-lah keluputan itu...

Gusti, Engkau pastinya lebih mengetahui ketimbang diri ini atas seorang yang sedang bertambah umurnya ini... pastinya Engkaupun yang lebih mengetahui planning. angan dan cita-cita hamba selama hidup nanti. Engkau yang lebih tau garis hidup masa depan hamba, Engkau yang lebih tau atas seluruh permasalahan-permasalahan yang telah, sedang dan akan terjadi. Untuk itu Gusti, di hari bertambah umur hamba kali ini... hamba yang faqir ini mohon dengan sangat untuk mengampuni segala kekhilafan yang tercipta, menambahkan kualitas amal-amal ibadah hamba, menambah hamba untuk semakin dekat pada-Mu, menambahkan hamba untuk semakin produktif, memberikan hamba kesempatan hidup yang penuh berkah dan petunjuk-Mu. Agar aku mampu merasa sebagaimana mestinya. Agar aku dapat memahami sebagaimana mestinya. Agar aku dapat mengerti sebagaimana mestinya. Agar aku dapat berbuat sebagaimana mestinya. Agar aku dapat berpikir sebagaimana mestinya. Agar aku dapat bertutur sebagaimana mestinya. Agar aku dapat mencinta sebagaimana mestinya. Agar aku dapat mengasihi sebagaimana mestinya. Agar aku dapat bertindak sebagaimana mestinya. Dan aku pun agar seprofesional dalam menempatkan porsi semuanya itu sebagai mestinya.

Gusti…suwun ingkang sanget atas pelajaran yang Engkau berikan. Semua yang telah Engkau ajarkan akan senantiasa menjadi modal untuk membenahi laku pikirku yang masih belum aku benahi sepenuhnya. Terimakasih telah Engkau tunjukkan padaku atas kekurangan, kecorobohan, kebodohanku saat ini. Tolong… paparkanlah sedini mungkin semua kekurangan-kekuranganku saat ini, untuk segera aku benahi…untuk segera aku bersihkan dari kotoran-kotoran sifat madzmumah itu… Gusti…ma’afkan aku jika dalam waktu yang sangat singkat itu aku belum bisa sebagaimana yang di inginkan sepenuhnya… sekali lagi bimbinglah hamba Gusti…

Gusti, senantiasa jagalah hamba dan jagalah ikhtiar hamba dalam proses pencarian hamba. Senantiasa berilah ridlo-Mu pada hamba dan ridloilah segala bentuk ikhtiar hamba. Berilah kemudahan untuk hamba, orangtua hamba dan untuk teman hamba dalam menghadapi kehidupan dunia sesa’at ini. Berikanlah pada diri ini dan orang tua hamba dan temen-temen hamba ilmu yang barakah, rezeki yang barakah dan umur yang barakah serta sa’adatuddarain…Dihari yang penuh berkah ini aku tundukkan diri ini pada-Mu untuk berkenan mengkabulkan semua permintaanku Gusti…

Dalam panjatan do’aku ini, hamba sebenarnya tidaklah pantas untuk meminta kepada-Mu…sebab tanpa minta pun telah Engkau berikan kepada hamba keni’matan-keni’matan yang tak terhingga…telah Engkau berikan kepada hamba Kasih sayang-Mu kepada hamba, kepada orang tua hamba dan kepada keluarga Hamba… Namun, untaian do’a hamba kepada-Mu hanyalah bentuk ta’at hamba kepada Perintah-Mu… Untaian do’a ini adalah bentuk curhatku kepada Engkau atas apa yang sedang aku impikan dan citakan… Untaian do’a ini hanyalah bentuk curhat seorang hamba kepada Tuhan Agungnya… Untaian do’a ini adalah bentuk keterbatasan hamba…yang tak mampu melakukan apapun tanpa peran Tuhannya… Maka, dalam do’aku ini aku mohon dengan sangat wahai Dzat yang Pengasih lagi Penyayang, Dzat yang Pema’af lagi Pemurah… Untuk Engkau kabulkan permintaan hamba…

Engkau lebih mengetahui kapasitas hamba daripada hamba…. Engkau lebih mengetahui diri hamba daripada hamba… Engkau lebih tau akan segala kekurangan hamba daripada Hamba… Engkau lebih tau pribadi hamba daripada hamba… Maka, hamba yang sangat membutuhkan Kasih Sayang-Mu ini…memohon dengan sangat untuk memudahkan segala urusan hamba… Hamba mohon agar Engkau mudahkan dalam belajar… Hamba mohon agar Engkau bukakan pintu hati ini… Bukakan lah tirai hati ini wahai Dzat yang membuka segala tabir para makhluk… Agar hati ini bisa terbuka dengan lebar untuk menerima ilmu-ilmu-Mu… Agar pikir ini bisa semakin luas mengembangkan ilmu-ilmu yang Engkau berikan padaku… Agar cahaya-Mu bisa memancarkan kepada hatiku… Agar hati ini tidak semakin keras… Agar hati hamba-Mu ini semakin lunak… Dan hati ini semakin memancarkan cahaya terang-Mu…

Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim… Hamba yang rapuh ini tak lelah-lelahnya tuk memohon kepada Engkau… Hamba yang lemah ini masih ingin untuk memohon kepada Engkau… Maka, kabulkanlah permohonan hamba ini… Sebab, kepada siapa lagi hamba memohon kalau tidak kepada Engkau… Hanya Engkaulah yang dapat mengabulkan permintaan hamba.. Hanya kepada Engkaulah aku memohon segala apa yang aku cita dan inginkan…

Gusti, tiba-tiba aku ingat kalau Engkau telah berfirman pada kami semua melalui Kitab Suci-Mu al-Qur’an, bahwa; segala yang pernah hidup pasti akan pernah merasakan kematian. Dan kematian makhluk-makhluk-Mu telah Engkau pastikan sejak ruh makhluk Engkau tiupkan. Dan pastinya hamba pun telah Engkau gariskan kapan ajal akan menjemput hamba, dan kapan kematian itu akan aku rasakan. Untuk itu Gusti, karena aku tak mengetahui rahasia semua itu, kapan Engkau akan memanggilku, kapan Engkau utuskan Izra’il untuk menjumpaiku…beserta dimana posisi tempat dan apa yang sedang aku lakukan itu adalah misteri, maka hamba memohon satu permintaan saja Gusti; akhirilah perjalanan hamba dalam pangkuan ridlo-Mu. Cukup, niku mawon barangkali catatan curhat hamba untuk kali ini… atas kekurang santun atau kurang sopan-nya hamba… dari hati yang sangat dalam hamba haturkan ma’af ingkang kathah…

Wasallahu ala sayyidina Muhammad wa ala ali sayyidina Muhammad…
Wa akhiru hadzihi risalati anil hamdulillahi rabbil ‘alamin…

Khartoum, 08 April
Abdi Panjenengan

Taufiq Zubaidi

Minggu, 04 April 2010

Istiqamah, dalam Upaya Penataan Manajerial Bumi

Setidaknya ada lima perintah dari Tuhan kepada umat Islam untuk bersikap teguh pada pendirian atau istiqamah. Yakni dalam surat Yunus ayat 89; "Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui". Dilanjutkan di Surat Huud ayat 112; Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Surat Fushilat ayat 6 pun telah menjelaskan; Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya. “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah: "Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)". (Assyura’: 15)
Dalam surat al Jaatsiyah ayat 18 dengan jelas Allah berfirman; “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. Dan yang terakhir ada di dalam surat al Ahqaaf ayat 13: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
***
Beberapa Firman Allah di atas, bisa kita tarik benang merah kesimpulan; bahwa Tuhan telah memerintahkan kita untuk tetap teguh dalam pendirian, untuk tetap konsisten kepada setiap apa yang kita yakini benar, untuk tidak bersikap sebagaimana para munafiqin –yang inkonsistensi terhadap segala apa yang mereka katakan. Fakhruddin Ar-Razi 544-606 H. / 1150-1210 M. dalam kitabnya Mafatihul Ghoib telah menjelaskan; bahwa Istiqamah, sangat berkait dengan aqidah dan segala amal baik yang kita lakukan. Baik yang bersangkutan khusus dengan kepercayaan kita, ataupun yang bersinggungan dengan isi wahyu beserta penjelasan syari’at Islam.
Lebih lanjut, dalam hematnya ar-Razi menjelaskan; memang tidak dapat dipungkiri lagi jika berpegang teguh untuk istiqamah yang benar-benar tak keluar dari garis yang telah ditetapkan baik yang ditetapkan oleh agama, ataupun ketetapan pemerintah termasuk perkara yang sulit. Istiqamah dalam perspektif Islam berarti teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal yang saleh. Senantiasa konsisten kepada jalan yang lurus, konsisten terhadap ajaran-ajaran Tuhan yang termaktub di dalam ayat-ayat Qauliyah (al-Qur’an-Sunah), serta tetap teguh pendirian dalam mempercayai ayat-ayat Kauniyah yang terdapat pada tanda-tanda kekuasaan penciptaan beserta sifat-sifat yang menyertai makhluk-Nya.
Istiqamah berarti menjaga sebuah komitmen dalam segala bentuk apa yang telah kita ucap, pikir dan lakukan. Jika kita berucap A, maka dalam perjalanannya kita tetap istiqamah (terus menerus) untuk senantiasa mengucapkan A, tidak beralih ke B, C atau D. Dalam berpikir pun demikian, meski sebuah hasil pikir adalah bentuk dari proses menuju kebenaran yang terkadang dapat berubah, namun ke-istiqamahan pikir berarti tetap berpegang teguh pada kebenaran pikir, dan tidak membalikkannya ke jalan kesalahan atau kepicikan pikir. Istiqamah dalam laku, berarti sebuah laku atau amal akan senantiasa terus menerus dilakukan dan takkan berhenti sampai pada titik akhir kehidupan dalam upaya menuju kualitas laku.
Taruhlah contoh, jika semua orang berjalan pada posisi masing-masing sesuai profesi dan tetap berpegang teguh pada koridor kebenaran, maka apa yang di inginkan Tuhan kepada kita, dan apa yang kita inginkan untuk hidup semakin tenang dan sejahtera, insya Allah akan menjadi kenyataan. Seorang Pemimpin, baik Pemimpin Negara, Pemimpin Perusahaan, Pemimpin Organisasi -dan lain seterusnya- beserta jajaran bawahannya, tatkala menjalankan tanggung jawabnya secara istiqamah, secara terus menerus berusaha untuk berupaya memperbaiki kinerjanya dan berpegang teguh pada peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, baik peraturan hukum agama –sesuai keyakinannya masing-masing-, atau peraturan hukum pemerintah –sesuai kapasitasnya sebagai warga Negara, maka persoalan korupsi yang telah menggejala dewasa ini, persoalan kolusi atau nepotisme tidak akan tumbuh sebagaimana yang ada saat ini.
Seorang Kiai, Pegawai, Pedagang, sampai Petani, jika semuanya tetap konsisten dalam meperteguhkan untuk senantiasa istiqamah dalam menjalankan fungsinya masing-masing dan sesuai jalan koridornya, maka segala aktifitas kehidupan ini akan terwujud keseimbangan yang tidak saling bertentangan dan bertabrakan. Hal inilah yang di inginkan oleh Allah kepada hambanya sesuai ayat-ayat Qauliyah yang terdapat dalam dustur agama Islam.
Penulis memiliki keyakinan jika semua manusia yang berada dimuka bumi ini bisa berpegang teguh, konsisten, menjaga komitmen atau istiqamah terhadap apa yang mereka ucap, pikir dan lakukan, maka bangunan bumi ini akan semakin tertata dengan rapi dan bertambah indah. Fungsional manusia sebagai khalifah pun akan semakin kentara dalam menjalankan tugasnya untuk memakmurkan dan membangun bayang-bayang surga-Nya di muka bumi ini. Seperti itulah bentuk dari istiqamah, maka tak heran jika ada adagium yang menyatakan istiqamah lebih utama dari seribu karamah para wali. wallahu a’lam…

Khartoum, 4 April 2010

Abdi Gusti
Taufiq Zubaidi