Sugeng Rawuh di Dunia Kecil-ku

Matur suwun telah berkenan berkunjung ke dunia kecilku...dunia ilusiku yang palsu dan bisu...

GAMBAR ILUSI-KU

GAMBAR ILUSI-KU
Hanya sebuah gambar yang palsu dan bisu

Rabu, 19 Mei 2010

Ingkar Janjinya Bani Israil kepada Allah

Tafsir Surat Al Baqarah ayat 85-86

Oleh: Taufiq Zubaidi

Kedua ayat yang akan kita kaji ini merupakan bagian dari kedua ayat sebelumnya (ayat ke 83 dan 84 dari surat al-Baqarah ). Kedua ayat sebelumnya dengan dua ayat ini nanti adalah dalam satu kesatuan membahas tentang “Ingkar Janjinya Bani Israil kepada Allah”. Janji-janji tersebut telah disebutkan di dua ayat sebelumnya, yang berisi sepuluh janji. Ayat pertama berisi tentang delapan janji (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Di tambah dua janji lagi yang berisi: “tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu.”

Setelah adanya sepuluh janji tersebut, dan Bani Israil berikrar (akan memenuhinya), akhirnya di dua ayat inilah lanjutan atas sikap mereka terhadap janji tersebut:

ثُمَّ أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ دِيَارِهِمْ تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِمْ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِنْ يَأْتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ (85)

“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS. Al Baqarah: 85)

أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآَخِرَةِ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ (86)

“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.” (QS. Al Baqarah: 86)

***

Ayat tersebut berkenaan dengan cerita orang Yahudi di Madinah pada permulaan Hijrah. Yahudi Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan orang-orang Khazraj. Antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. Sampai antara kedua suku Yahudi itupun terjadi peperangan dan tawan menawan, karena membantu sekutunya. Tapi jika kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, maka kedua suku Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya berperang-perangan.

Penjelasan ayat 85:

ثُمَّ أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تَقْتُلُونَ أَنْفُسَكُمْ

“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa)”

Setelah di ayat sebelumnya Bani Israil berjanji kepada Allah swt untuk tidak membunuh, namun di ayat ini telah disebutkan bahwa mereka tidak menepati janji tersebut, mereka mengingkari dengan saling membunuh antara satu sama lain. Saling menebar permusuhan, menumpahkan darah, membunuh sesama saudara mereka sendiri. Padahal apa yang dilakukan oleh Bani Israil dengan saling membunuh itu telah sangat jelas diharamkan di ajaran agama mereka, dan menjaga keselamatan kerabat adalah wajib bagi mereka.

وَتُخْرِجُونَ فَرِيقًا مِنْكُمْ مِنْ دِيَارِهِمْ

“dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya.”

Janji kedua yang telah diingkari oleh bani israil adalah mengusir saudara sebangsa dari kampung halaman mereka. Dari penghianatan janji ini, secara tidak langsung Bani Israil telah mengingkari dua kesepakatan Allah swt dengan mereka di ayat sebelumnya, yakni untuk tidak mengusir saudara dari kampung halaman dan berbuat baik kepada kerabat. Sebab adanya pengusiran menandakan bahwa mereka tidak bisa berbuat baik kepada sesama kerabat mereka.

تَظَاهَرُونَ عَلَيْهِمْ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَإِنْ يَأْتُوكُمْ أُسَارَى تُفَادُوهُمْ

“kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan, tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka”

Sikap ingkar yang dilakukan oleh Bani Israil juga saling menerbar kedzaliman, dengan saling membantu satu sama lain untuk membuat kerusakan, dan senantiasa menebar dosa. Dan mengulang-mengulang kembali perbuatan tersebut dengan menebus kelompok mereka yang tertawan, dan mengembalikan tawanan agar permusuhan tersebut bisa langgeng. Hal tersebut ditunjukkan adanya permusuhan dan persengketaan Yahudi Bani Quraizhah dan Yahudi Bani Nadhir. Dimana Yahudi Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, dan Yahudi dari Bani Nadhir bersekutu dengan orang-orang Khazraj. Antara suku Aus dan suku Khazraj sebelum Islam selalu terjadi persengketaan dan peperangan yang menyebabkan Bani Quraizhah membantu Aus dan Bani Nadhir membantu orang-orang Khazraj. Sampai antara kedua suku Yahudi itupun terjadi peperangan dan tawan menawan, karena membantu sekutunya. Tapi jika kemudian ada orang-orang Yahudi tertawan, maka kedua suku Yahudi itu bersepakat untuk menebusnya kendatipun mereka tadinya berperang-perangan. Selain dari yang diperbuat mereka itu, mereka adalah ahli syirik dan menyembah berhala.

وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ إِخْرَاجُهُمْ

“padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu”

Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Bani Israil di atas, baik membunuh, mengusir, membantu dalam menebarkan dosa dan permusuhan telah di larang oleh Allah
swt. di kitab mereka. Allah swt. telah mengharamkan kepada mereka tatkala melakukan hal-hal tersebut.

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ

Apakah kamu beriman kepada sebagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?

Sifat ingkar Bani Israil selain dari hal-hal yang telah disebutkan di atas itu, mereka beriman kepada sebagian kitab suci dan mengingkari sebagian yang lainnya. Bentuk mengingkari sebagian kitab itu bermacam-macam, yaitu: (1) Mengambil yang enak dan meninggalkan yang tidak enak, (2) Mempertentangkan ayat-ayat, (3) Mengambil ayat-ayat mutasyabihat (samar maknanya) dan meninggalkan ayat yang muhkamat (jelas).

فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

“Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia”

Balasan yang akan diterima oleh Bani Israil karena melakukan ingkar janji kepada Allah swt. maka mereka di dalam dunia akan mendapat kenistaan. Kenistaan di dunia yang telah menimpa mereka adalah di usirnya Bani Quraidzah dari Madinah dan diperanginya Bani Nadzir oleh tentara Muslim.

وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ

“dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat”

Karena mereka telah mengingkari janji kepada Allah swt., maka selain dari kenistaan yang mereka dapatkan di dunia, di akhirat kelak meraka juga akan mendapatkan siksa api neraka yang merupakan siksa yang paling pedih.

وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ

“Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”

Perbuatan-perbuatan ingkar yang dilakukan oleh Bani Israil tersebut, seperti membunuh, mengusir kerabat mereka, membantu dalam berbuat dosa telah Allah swt ketahui semua. Dan samasekali Allah swt. tidak butuh, tidak takut akan pengingkaran mereka.

Penjelasan ayat 86:

أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآَخِرَةِ

“Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat”

Maksud dari orang yang membeli kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat adalah, orang yang lebih mementingkan keni’matan-keni’matan duniawi dibandingkan keni’matan-keni’matan ukhrawi kelak. Dalam konteks ini, mereka (Bani Israil) telah beriman kepada sebagian isi kitab Taurat dan sebagian yang lain. Mereka tidak mengindahkan janji-janji yang telah mereka sepakati. Iman mereka hanya kepada isi kitab yang di anggap menguntungkan mereka di dunia, dan mengabaikan isi yang dianggap kurang menguntungkan mereka. Padahal isi kitab Taurat adalah penghantar bagi mereka untuk mendapatkan kebahagiaan dunia akhirat.

فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ

“maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong.”

Karena mereka telah menggantikan ni’mat akhirat dengan ni’mat dunia dengan mengingkari janji mereka kepada Allah swt., maka mereka kelak akan mendapatkan siksa neraka dan tidak akan mendapatkan syafa’at atau penolong. Dan mereka tidak akan dapat menghindar dari siksaan tersebut.

***

Dari penjelasan ayat ini beserta ayat sebelumnya tentang ingkar janjinya Bani Israil kepada Allah swt. dapat kita petik hikmah untuk menjadikannya sebagai pelajaran untuk menapaki kehidupan kita di dunia. Dimana di dalam penjelasan ke empat ayat tersebut (ayat 83, 84, 85 dan 86) terdapat berbagai petunjuk untuk mendapatkan kebahagiaan dan peringatan untuk kita jauhi bersama. Petunjuk itu adalah yang terdapat di ayat 83-84 tentang perintah beribadah kepada Allah swt. dan tanpa menyekutukannya, berbakti kepada kedua orang tua, kepada kerabat, menyantuni anak yatim, membantu fakir-miskin, berbicara dengan santun kepada semua orang, mendirikan sholat, menunaikan zakat. Sedangkan peringatan yang terdapat di surat tersebut adalah tidak membunuh, tidak mengusir golongan dari kampung halamannya.

Namun, karena pada waktu itu Bani Israil telah mengingkari janji tersebut, mereka telah mementingkan keni’matan-keni’matan duniawi dibandingkan keni’matan-keni’matan ukhrawi, maka sebagaimana penjelasan di ayat 85-86 Allah swt. telah memberi balasan terhadap mereka sebuah kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat (api neraka). Dan samasekali mereka tidak akan mendapatkan syafa’at atau pertolongan untuk bebas dari siksaan Allah swt.

Demikian tafsir dan penjelasan singkat dari kedua ayat tersebut (Al Baqarah: 85-86) yang disarikan dari berbagai sumber. Semoga kita semua bisa mengambil hikmah dan pelajaran di ayat tersebut. Wallahu a’lam bis showab.

Daftar Bacaan:
- Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Abu Ja’far at Tabari
- Tafisr al-Qur’an al-Adzim, Ibn Katsir al-Quroysi
- Mafatihul Ghaib, Fakhruddin Ar Razi.
- Bahrul Ulum, as-Samarqandi

Kamis, 13 Mei 2010

Mensinergikan Duniawi dan Ukhrowi; untuk menggapai Sa’adatuddarain

Oleh: Taufiq Zubaidi

IFTITAH

Manusia pada dasarnya adalah makhluk terbaik dari sekian makhluk lain yang diciptakan oleh Allah. Manusia oleh Allah diberi kehormatan atau karamah bahkan lebih dari itu ia diangkat sebagai “khalifah Allah" di atas bumi ini. Kemuliaan manusia ditandai dengan pemberianNya yang sangat bermakna tinggi, sehingga menjadikan manusia dapat menguasai alam ini. Pemberian itu berupa "akal dan pikiran'' yang mampu mengangkat harkat dan derajat manusia. Dengan akal pikiran, manusia dapat menerima, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi . Manusia dibedakan dari binatang terutama adalah karena manusia merupakan animal symbolicum, yaitu makluk yang hidup dengan symbol-symbol yang dapat berpikir dan berbahasa. Menurut doktrin al-Qur'an, manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini .

Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya . Namun begitu Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belum selesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya . Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia itu fithri, hanif dan berakal . Lebih dari itu bagi seorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagi dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai petunjuk hidupnya .

Kelebihan manusia, di samping karena akal pikirannya, juga karena nafsu dan perasaan. Manusia dengan nafsunya mempunyai semangat, etos dan sikap-sikap emosional lain yang positif. Manusia dengan intuisinya mempunyai daya estetik dan etik yang juga mampu mengangkat harkatnya. Sebagai “khalifah Allah", manusia pada dasarnya telah dibekali dengan tiga potensi di atas, yaitu akal pikiran, nafsu dan perasaan. Dengan bekal inilah manusia mampu menjalankan kekhalifahan untuk dirinya sendiri dan untuk orang lain, kelompok maupun orang perorang .

Masalahnya adalah, seberapa jauh manusia melaksanakan kemampuannya itu? Apa yang harus dilakukannya untuk dapat memerankan peran kekhalifahannya di muka bumi ini? Apa yang harus ia lakukan untuk melengkapi kualitas kemanusiaanya? Manusia seperti apa yang dibutuhkan untuk menejerial bumi? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang ingin penulis bahas di tulisan singkat ini.

***

Etika dalam Pembangunan

Barangkali diantara kita pernah menjumpai beberapa hadis Nabi yang berbunyi: “Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlaqul karimah.” , “Sesungguhnya budi pekerti yang baik adalah perbuatan ahli surga” , “Sesungguhnya sebaik-baiknya perkara yang baik adalah kepribadian yang baik. ” "Demi Dzat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang berakhlak mulia”. Ke empat hadis tersebut telah menandakan bahwa akhlaq adalah hal penting yang harus dipraktekkan di dalam kehidupan sehari-hari.

Kedewasaan sebuah bangsa tidaklah cukup dilihat dari sumber daya manusia saja, namun perilaku dan budi pekerti warganya. Etika masyarakat dalam berbangsa dan bernegara sangatlah penting untuk menjunjung harkat dan martabat bangsa. Tanpa etika, moral, adab atau perilaku yang baik, sebuah bangsa akan semakin rusak dan rendah. Taruhlah contoh jika semua elemen pemerintahan dan semua masyarakat yang ada di dalam Negara sudah tidak memiliki akhlak yang baik, telah meniadakan etika kehidupan, maka sudah dapat dipastikan tatanan Negara akan semakin rusak. Tanpa moral, sifat-sifat madzmumah (tercela) seperti; sombong, dengki, pembohong, riya’, sum’ah, beserta sifat-sifat tercela lainnya akan semakin tumbuh subur.

Diceritakan dari Mu'adz ibn Jabal bahwa Nabi saw. bersabda; "Sesungguhnya Allah melingkupi Islam dengan akhlak yang mulia dan perbuatan baik” . Dari hadis tersebut telah menandakan bahwa sejak hadirnya, Islam telah mendeklerasikan bahwa ajaran-ajaran yang dibawa agama Islam akan menghantarkan kepada akhlaqul karimah. Belajar dari sejarah, Nabi Muhammad saw. diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak umat pada saat itu, sebelum praktik-praktik keagamaan seperti shalat, puasa, haji diperintahkan kepada umatnya. Langkah Rasulullah saw. sangatlah tepat, sebab ketika sebuah akhlak telah tertanam kepada semua umat, maka hal ihwal tentang tasamuh, sifat saling menghargai, saling menghormati, saling menyayangi akan terwujud.

Moral di dalam Al-Qur'an disebut "akhlaq" yang berarti budi pekerti atau tata susila, sebenarnya telah ada sejak adanya kehidupan manusia. Persoalan "baik-buruk" telah muncul sejak tingkat peradaban awal, meskipun ukuran yang dipakai berbeda-beda. Kadang-kadang diukur dengan akal yang paling sederhana tanpa melibatkan perasaan atau sebaliknya, atau hanya dengan penilaian perasaan dan malahan hanya dengan nafsu. Penilaian baik-buruk atas tindakan dan amal perbuatan manusia dengan ukuran-ukuran tertentu itulah yang disebut moral atau etika . Dalam tradisi filsafat istilah "etika" lazim difahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik .

Sampai saat ini yang masih menjadi permasalahan adalah bentuk ukuran-ukuran untuk menilai baik-buruk yang biasanya dipengaruhi oleh budaya, lingkungan dan ajaran agama, sehingga terjadi perbedaan penilaian antara satu daerah dengan daerah lain. Suatu perbuatan dinilai baik di satu daerah, belum pasti dinilai sama di daerah lain. Hal ini akan bergantung pada kesepakatan sosial yang terjadi baik atas pengaruh budaya, lingkungan maupun ajaran agama dan kepercayaan yang ada di masyarakat. Oleh karenanya ukuran-ukuran itu sering bergeser akibat perubahan sosial yang terjadi. Kecuali tolok ukur yang bersumber dari ajaran agama yang dogmatik, maka ukuran ini bersifat permanen .

Karena masih pudar bentuk ukuran baik-buruk tatkala hanya disarikan dari budaya, lingkungan masyarakat yang notabene ukuran-ukuran itu sering bergeser akibat perubahan sosial, maka diperlukan sebuah patokan atau kiblat yang seimbang, baik ditinjau dari ukuran masyarakat atau agama. Di sini penulis ingin mengambil parameter itu adalah kepribadian Rasulullah saw. Sebab kepribadian Rasulullah telah diakui sebagai kepribadian yang sempurna disepanjang sejarah manusia. Muhammad saw. adalah uswah (teladan) dalam sifatnya yang luhur. Adalah al-Qur'an sendiri yang menegaskan, Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah (Muhammad Saw.) teladan yang baik bagi siapa yang mengharap (anugerah) Allah dan (ganjaran di) Hari Kemudian, serta banyak menyebut nama Allah .

Kesempurnaan kepribadian Rasulullah tidak hanya diakui dari kalangan muslim. Michael H. Hart di dalam karyanya Seratus Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah, telah mengakui kepribadian Rasulullah:

Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang pada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa baik ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi. Berasal-usul dari keluarga sederhana, Muhammad menegakkan dan menyebarkan salah satu dari agama terbesar di dunia, Agama Islam. Dan pada saat yang bersamaan tampil sebagai seorang pemimpin tangguh, tulen, dan efektif. Kini tiga belas abad sesudah wafatnya, pengaruhnya masih tetap kuat dan mendalam serta berakar .

Al-qur'an telah menjelaskan dengan begitu jelas dan gamblang siapakah Rasulullah saw. dan bagaimana tanda-tanda bagi orang-orang yang mengikuti ajarannya. Kalau kita amati, hasil ajaran yang di ajarkan oleh Rasulullah melalui sifat-sifat mulianya kepada para sahabatnya begitu unik dan mempesona. Ketika ajaran Islam diberikan kepada Abu Bakar, tiba-tiba keluar as-shidiq (yang jujur). Ketika ajarannya diberikan kepada Umar ibn Khattab tiba-tiba keluar al-faruq (yang mampu memisahkan yang haq dan yang bathil), diajarkan kepada Utsman ibn 'Affan keluar dzunnurayn (yang bercahaya di dunia dan di akhirat), dan diajarkan kepada 'Ali ibn Abi Thalib keluar al-murtadha (yang diridai) .

Ke empat sifat yang muncul dari khulafaurrasyidin di atas merupakan pengejawantahan dari sifat empat mulia Nabi; sidiq tercerminkan oleh sahabat Abu Bakar, amanah diwakili oleh sahabat Umar bin Khotob, Tabligh terpancar oleh sahabat Utsman ibn Affan dan Fathonah terwakili oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Ke empat sahabat Rasulullah saw. tersebut memiliki identitas diri yang berbeda-beda. Padahal yang diberikan kepada mereka adalah ajaran yang sama, tetapi ternyata menghasilkan buah yang berbeda-beda. Di sinilah keunikan ajaran Islam, yang membedakan diri dari ajaran-ajaran sekuler karya manusia, misalnya komunisme atau liberalisme.

Sahabat empat Rasulullah saw. tersebut merupakan pribadi-pribadi besar, yang karakternya terbentuk menurut tuntunan dan ajaran agama Islam. Ke empatnya pula merupakan manifestasi dari empat keunggulan yang dimiliki Rasulullah saw. Jadi, jika potensi yang ada di dalam diri Rasulullah saw. dipisah-pisahkan, dan jika setiap bagian dari potensi itu berada di dalam diri manusia, ia akan mencapai puncak kepribadiannya.

Sejak awal Islam telah meletakkan dasar-dasar untuk menentukan tingkah laku yang baik dan buruk. Ia tidak mendasarkan konsep al-ma’ruf (yang baik) dan al-munkar semata-mata pada rasio, nafsu, intuisi dan pengalaman-pengalaman yang muncul lewat panca indera yang selalu mengalami perubahan. Tetapi ia telah memberikan sumber yang tetap, yang menentukan tingkah laku moral yang tetap dan universal, yaitu "Al-Qur’an dan al-Sunnah". Dasar-dasar itu menyangkut kehidupan perorangan, keluarga, tetangga sampai pada kehidupan komunitas bangsa . Itulah bentuk akhlaqul karimah yang seyogyanya kita praktekkan bersama untuk mewujudkan pribadi-pribadi yang ideal sebagaimana uswatun hasanah kita.

Sifat akhlaqul karimah telah diwasiatkan kepada sahabat Mu'adz r.a. Suatu ketika sahabat Mu’adz bertemu dengan Rasulullah saw.: "Rasulullah saw. berwasiat kepadaku. Beliau bersabda, "Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah swt., berkata benar, menepati janji, menuaikan amanah, meninggalkan pengkhianatan, menjaga hubungan baik dengan tetangga, mengasihi anak yatim, berkata lembut, memulai salam, berbuat baik, pendek angan-angan, meneguhkan keimanan, mempelajari Al-Qur'an, mencintai akhirat, merasa gelisah terhadap penghisaban, dan merendahkan diri. Aku melarangmu dari mencaci seorang yang bijak, mendustakan orang jujur, menaati pendosa, durhaka kepada pemimpin yang adil, atau membuat kerusakan di muka bumi. Aku wasiatkan kepadamu agar bertakwa kepada Allah pada setiap batu, pohon, dan tanah. Hendaklah pada setiap dosa engkau datangkan tobat, yang rahasia dengan rahasia dan yang terang-terangan dengan terang-terangan" .

Wasiat Rasulullah saw. kepada sahabat Mu’adz adalah bukti dari bentuk akhlaqul karimah yang sangatlah luas. Akhlaqul karimah mencakup pelbagai etika-etika kita kepada Allah, kepada sesama manusia, dan etika kita pada diri sendiri. Implementasi akhlaqul karimah adalah kemampuan mempraktekkan aktifitas kita sesuai porsinya masing-masing, berlandaskan hukum Agama dan adat kebiasaan masyarakat. Dalam arti lain, arti akhlaqul karimah adalah kepandaian memosisikan diri; kapan kita harus bertindak, dimana posisi kita berada, apa yang harus kita lakukan, apakah yang kita lakukan merugikan orang lain tidak, merugikan diri sendiri, merugikan lembaga, atau pihak lain.

***

Mensinergikan Duniawi dan Ukhrawi

Manusia sebagai khalifah diberi tugas untuk melaksanakan manajerial Tuhan: menjamah lingkungan serta melakukan transformasi sosial. Sebagai seorang muslim kita harus melangkah: bekerja, berpolitik, berkesenian, dan sebagainya. Tujuan yang kita gapai dari semua itu adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. ditengah-tengah lingkungannya pada zaman itu. Konon, Rasulullah saw. sebelum di utus untuk menyebarkan Islam, Rasulullah juga melakukan aktifitas sebagaimana manusia biasanya, dalam sejarahnya beliau pernah menjadi penggembala yang terpercaya dan pedagang yang jujur .

Dari sejarah kehidupan Rasulullah dapat kita ambil kesimpulan, bahwa idealnya seseorang di dalam menjalani kehidupan ini haruslah menyeimbangkan kepentingan duniawi dan ukhrawi. Yakni hidup tidak hanya bersifat ubudiyah interaksi kepada Tuhan semata, melainkan juga ber-mu’amalah kepada sesama manusia. Hidup tidak hanya memiliki “kesalehan ritual” yang hanya mementingkan ibadah mahdlah, ibadat yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan untuk kepentingan sendiri. Sangat tekun melakukan sholat, puasa, dan seterusnya; namun tidak perduli akan keadaan sekelilingnya (hanya hablun minallah). Melainkan dalam tugas kekhalifahannya di muka bumi manusia juga dituntut memiliki “kesalehan sosial” yakni memikirkan dan santun kepada orang lain, suka menolong, dan seterusnya (hablun minan naas).

Namun di dalam menjalankan tugasnya, manusia sering menemukan kendala diri karena dia memiliki cara berpikir ganda. Misalnya, ketika dia melihat seseorang dalam kesulitan keuangan, dia akan berpikir: "kalau dia tidak saya tolong, kasihan. Tetapi kalau saya tolong, nanti harta saya berkurang...". Perdebatan antara perbedaan terjadi karena manusia memiliki dua potensi . Ruh Hayati yang selalu menuntut agar jasmani kita sejahtera, abadi di bumi, ditentang ruh Idhafi yang senantiasa ingin kembali kepada Tuhan. Dialog memperjuangkan kepentingan fisikal (oleh ruh hayati) dan kepentingan spiritual (oleh ruh idhafi) tidak pernah berakhir manakala kita sendiri tidak menentukan langkah apa yang mesti kita lakukan. Di sinilah manusia diberi kemerdekaan untuk menjadi dirinya sendiri.

Pada zaman dahulu, para brahma, biksu, rahib-rahib, dan orang-orang suci yang telah ma'rifah billah tidak berani menyimpan harta. "Di dalam rumah saya tidak boleh ada harta. kalau saya bekerja mendapatkan uang sepuluh ribu, dua ribu untuk makan, maka yang delapan ribu harus saya akhiratkan." Bagian hidupnya di dunia dilupakan, semua dianggarkan untuk akhirat . Sistem agama dahulu memang demikian. Tetapi hal ini sekarang tidak lagi relevan, karena setiap orang harus sanggup menopang dirinya sendiri selain harus menolong orang lain. Orang yang hanya menolong pihak lain berarti hanya melaksanakan manajerial Tuhan tanpa mengembangkan diri. Kehidupannya hanya untuk akhirat tanpa meni’mati keni’matan Allah yang diberikan di dunia. Padahal kita harus mendapatkan dunia kita untuk bisa menolong dua kali hingga seribu kali, kita harus memiliki sisa sebagai aset yang bisa dikembangkan.

Proses sebuah ikhtiar untuk sanggup menopang diri sendiri selain harus menolong orang lain adalah dalam rangka menjaga agar tidak menyiksa keadaan sendiri, yang bisa-bisa akan mengarahkan kepada sebuah kefakiran dirinya sendiri. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. bersabda: “kefakiran cenderung mengarahkan kepada kekufuran” . Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik tersebut merupakan sebuah rambu-rambu, bahwa dalam menghadapi hidup kita harus sedapat mungkin untuk menjauhkan diri dari kefakiran. Yang dalam hal ini, seseorang harus dapat memenuhi kebutuhan sendiri, selain membantu orang lain.

Allah telah memberikan petunjuk agar kita tepat dalam bersikap; tidak memenangkan satu kekuatan (ruh) dan mematikan kekuatan yang lain. Keduanya, baik kekuatan fisikal (ruh hayati) maupun kekuatan spiritual (ruh idhafi), harus sama-sama dimenangkan. Win-win solution; mencapai kebahagiaan di akhirat dengan tidak melupakan kebahagiaan di dunia. Petunjuk untuk mensinergikan keduanya terdapat di dalam firman-Nya:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” .

Ayat tersebut mengandung “peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah Allah– wallahu a'lam– “sekadar” memperingatkan, supaya dalam mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan anugerah-Nya ditinggalkan . Menurut tafsir Ibn Abbas, “Walaa tansa nasiibaka min ad-dunya” diartikan “Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia” .

Oleh karena itu, setiap hendak melakukan sesuatu perbuatan harus ada kompromi (dialog ruh), selanjutnya di dalam berinteraksi dengan orang lain, kita juga harus melakukan kompromi yang serupa. Inilah yang disebut moment of creation, yaitu momen mencipta yang senantiasa membutuhkan pendekatan dan pengorbanan. Kita tidak hanya mencari keuntungan akhirat, tapi juga keuntungan dunia, kita tidak hanya mencari kemenangan sendiri, tetapi harus memikirkan pula kemenangan orang lain. Misalnya, kompromi antara penjual dan pembeli, antara pemimpin dan yang di pimpin, antara bapak dan anak. Kedua pihak harus ada interaksi dengan tidak menggunakan kekuasaannya. Bahwa setiap manusia merasa memiliki kekuasaan, sehingga cenderung akan menggunakannya dalam upaya memaksakan kehendak .

Rasulullah saw. telah bersabda, “I'mal lidunyaaka kaannaka ta'iesyu abadan wa'mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan”, yang galibnya berarti “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok pagi”. Hadis ini dapat kita pahami dengan pemahaman “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi tak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa, “Rabbanaa aatina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang mengharapkan kebahagiaan (secara materiil) di dunia dan kebahagiaan (surga) di akhirat. Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional (berimbang yang tidak mesti seimbang) .

Fenomena kehidupan beragama kaum Muslim dewasa ini, dimana memang sering kita jumpai sekelompok orang yang tekun beribadat, bahkan berkali-kali haji misalnya, namun kelihatan sangat bebal terhadap kepentingan masyarakat umum, tak tergerak melihat saudara-saudaranya yang lemah tertindas, misalnya. Seolah-olah Islam hanya mengajarkan orang untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya menjadi hak Allah belaka. Sebaliknya juga, sering dijumpai orang-orang Islam yang sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, sangat memperhatikan hak sesamanya, kelihatan begitu mengabaikan “ibadat pribadinya”. Padahal semuanya tahu tentang hak-hak hablun minallah dan hablun minan nas.

Inilah yang menjadi permasalahan kita bersama, sebagai muslim sebenarnya kita memiliki dua tuntutan sekaligus, antara hablun minallah dan hablun minan nas. Antara interaksi kita kepada manusia dalam rangka menejerial bumi dan interaksi kita kepada Tuhan dalam rangka tugas kita sebagai ciptaan-Nya yang harus menundukkan diri kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” .

***

IKHTITAM

Setidaknya, ada empat golongan umat manusia yang dibutuhkan untuk menjalankan kekhalifahan manusia di muka bumi ini. Ke empat golongan manusia yang harus ada itu adalah golongan yang seperti Abu Bakar, 'Umar ibn Khatab, Usman ibn Affan, dan Ali Ibn Abi Thalib. Sebagaimana penjelasan di atas tentang ke empat sahabat Nabi itu, sifat yang mereka miliki merupakan manifestasi dari ke empat sifat mulia Rasulullah saw.

Dalam menjalankan kekhalifahan di muka bumi dibutuhkan seorang konseptor, perumus konsep-konsep di bidang agama, politik, sains, dan teknologi. Ini adalah golongan Ali ibn Abi Thalib Al-Murtadha pewaris dari sifat Fathonah Nabi, manifestasi dzat baik yang dimiliki Rasulullah saw. mereka adalah pengabdi-pengabdi pada Dzat Allah.
Pada pecinta kebenaran (shiddiqin) adalah mereka yang adalah mereka yang tergabung sebagai "dinamisator". Pemilik sifat-sifat, karakter, dan kepribadian yang luhur. Ini adalah golongan Abu Bakar As-Shidiq, manifestasi dari sifat-sifat baik yang selalu terpancar dari dalam diri Rasulullah saw. Mereka adalah pengabdi sifat-sifat Allah.

Golongan syuhada adalah mereka yang tergabung sebagai "motivator". Penyandang nama baik kesatuan profesinya. Ini adalah golongan Umar ibn Khatab al-Faruq, manifestasi dari nama baik yang senantiasa dijaga Rasulullah saw. Mereka adalah pengabdi-pengabdi asma Allah.

Golongan orang-orang saleh (shalihin) adalah mereka yang tergabung sebagai "fasilitator". Penyuplai dana dan kreator-kreator yang produktif. Ini adalah golongan Utsman ibn Affan Dzun-Nurrain, manifestasi dari perbuatan-perbuatan baik yang senantiasa dilakukan Rasulullah saw. Mereka adalah pengabdi-pengabdi terhadap perbuatan-perbuatan (af'al) Tuhan .

Wa ba’dhu, kelayakan manusia mendapatkan julukan ahsan-u ‘l-taqwim, sebagai puncak ciptaan Tuhan, serta keunggulan kualitasnya itu masih harus diperjuangkan dan disempurnakan oleh manusia sendiri. Dalam konteks keIslaman, seorang muslim haruslah mencontoh kepribadian Nabi Muhammad saw. sebagai uswah hasanah, yang berakhlaq mulia serta mementingkan urusan ukhrawi tanpa melalaikan duniawi. Itulah sarana untuk mencapai puncak tujuan hidup kita, sa'adatuddarain (kebahagiaan duniawi dan ukhrawi). Wallahu a’lam bis shawab.


Daftar Pustaka
Al Qur’an al-Karim
as-Sunan alKubra lil Baihaqi. Juz 10.
al-Mu’jam al-Awsath li at-Thabrani, Juz 14.
Musnad as-Syihab al-Qadha'I, Juz 4.
Al-Ghazali, Mutiara Ihya' Ulumuddin; Ringkasan yang Di tulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam, Diterjemahkan dari Mukhtasar Ihya' Ulumuddin Karya Al-Ghazali, Penerjemah: Irwan Kurniawan (Bandung: PT Mizan Pustaka)
Bisri A.Mustofa, Fid-Dunya Hasanah WaFil-Akhirati Hasanah, 16 Nopember 2009 10:17:04, http://www.gusmus.net/page.php?mod=dinamis&sub=10&id=1079
Cassirer Erns, An Essay on Man, (Yale: University Press).
Hidayat Komaruddin, Psikologi Ibadah; menyibak arti menjadi hamba dan mitra Allah di bumi, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta).
Hart Michael H., Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terjemahan H. Mahbub Djunaidi, 1982 (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001)
Husain Haekal Muhammad, Sejarah hidup Muhammad, Seri pustaka Islam (Jakarta: Pustaka Jaya, 1979)
Ibn Abbas, tanwirul muqbas, juz 1
Imam Suyuti, Jami'ul Ahadis, juz 15
Zuhri Muhammad, Hidup Lebih Bermakna; Panduan mempertanggungjawabkan iman secara rasional, menyelami kedalaman spiritual dalam ibadah ritual, merasakan kehadiran Tuhan dalam beramal, dan menemukan esensi agama untuk perubahan individu dan sosial (Jakarta:PT Serambi Ilmu Semesta Anggota IKAPI Agustus 2007)
Mahfudh Sahal, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS )
Paul Taylor, W., Problems of Moral Philosophy. (California: Deckenson Publishing Compant Inc.)