Sugeng Rawuh di Dunia Kecil-ku

Matur suwun telah berkenan berkunjung ke dunia kecilku...dunia ilusiku yang palsu dan bisu...

GAMBAR ILUSI-KU

GAMBAR ILUSI-KU
Hanya sebuah gambar yang palsu dan bisu

Selasa, 27 April 2010

Ilmu Dunia dan Akhirat

Tulisan ini adalah jawaban singkat untuk temanku yang beberapa hari lalu telah mengirimkan sebuah pertanyaan melalui via email kepada saya. Isi pertanyaan cukup singkat, namun cukup membuatku tertarik untuk mencoba menjelaskan atau menjawabnya sesuai dengan yang selama ini aku pahami. Kurang lebih isi pertanyaan tersebut adalah:

“ Mas, ma’af kalau ngganggu, dulu aku pernah denger ada syi’ir tapi lupa bunyi baitnya, yang artinya kurang lebih seperti ini...”Ilmu adalah cahaya, dan ilmu Allah hanya di berikan kepada orang yang bersih hatinya”.. tapi kalo di pikir-pikir memang iya... saya ngrasa dulu mudah sekali menghafalkan..em.....tapi sekarang susah banget kalo ngapalin..lha wong sekarang banyak maksiat.....Eh tapi kok orang barat banyak yang pinter njeh...? mungkin sampean bisa ngebantu jawab..?”

***

Bismillahirrahmanirrahim…

Barangkali kalau tidak salah yang dimaksud dari pertanyaan temanku di atas adalah terkait syi’ir-nya Imam Syafi’i dibawah ini:

شكوت إلى وكيع سوء حفظي * فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخبرني بأ ن العلم نور * و نورالله لا يهدى لعاصي

Hem...menurut hemat al-Ghazali ulama itu terbagi menjadi dua; ulama dunia dan ulama akhirat. Ulama akhirat adalah ulama yang mampu menghantarkan seseorang menuju pengetahuan tentang Allah, yang mampu menghantarkan seseorang menuju ma’rifat, mukasyafah dan musyahadah maring Gusti. Yang biasanya dalam hal ini diwakili oleh para mursyid tariqah (para sufi). Adapun ulama dunia dimaksudkan; ulama yang mengarahkan seseorang tentang ilmu-ilmu syari’at ataupun mu’amalah, interaksi hubungan dengan insan dan tata cara beribadah sebagaimana fuqaha’. Kalau ada pembagian wilayah ulama akhirat dan ulama dunia, berarti ilmu itu pun terbagi wilayahnya menjadi dua, ilmu dunia dan akhirat.

Sa’at masih di sekolah dulu, saya memiliki Guru yang kurang setuju dengan pandangan al-Ghazali atas pembagian ilmu dunia dan akhirat, dengan alasan itu akan mereduksi sebuah keilmuan. Menurut beliau, semua ilmu, apapun itu kalau mampu menghantarkan pada-Nya itu-pun bisa dikatakan ilmu agama (akhirat). Sebaliknya jika sebuah ilmu tidak mampu menghantarkan pada-Nya maka ia termasuk ilmu umum (dunia), meski ia termasuk bagian dari ilmu agama. Namun dalam hematku sendiri, pandangan Guru saya itu memang ada benarnya, namun jika ditinjau dari perspektif lainnya, saya sependapat dengan pandangan al-Ghazali bahwa wilayah ilmu tetap terbagi menjadi dua, antara ilmu dunia dan ilmu akhirat. Sebab, jika pemutusan antara ilmu itu dikatakan ilmu akhirat hanya dengan karena mampu menghantarkan kepada-Nya, maka nanti akan terjebak pada kenisbian atau relativisme manusia. Dan realitanya sangat jarang sekali ilmu-ilmu dunia (ilmu-ilmu bayani atau mu’amalah) mampu menghantarkan pada-Nya, dikarenakan tergantung dengan sifat lahiriah dan batiniah manusia.

Berbeda dengan ilmu yang telah pasti fokus untuk mengenal Allah, dengan berbagai konsepnya (ilmu-ilmu irfani atau tasawuf) yang telah dekat dan lebih mampu menuju pada-Nya, meski tidak semua orang bisa sampai pada tujuan menuju Tuhannya. Sebab Gusti Allah hanya dapat dituju tatkala seorang diri telah bersih dari perkara-perkara madzmumah (telah memancarkan sifat mahmudah). Gusti Allah hanya bisa dituju tatkala diri telah memancarkan sinar rabbaniyah-Nya. Dan itu lebih bisa dipastikan dengan pengamalan amaliah ilmu akhirat (konsep tasawuf). Untuk itulah, pemetaan wilayah ilmu dalam hemat al-Ghazali dalam perspektif ini ada benarnya.

Terkait bait dari Diwan-nya Imam Syafi’i di atas, dalam hemat saya bahwa bait tersebut hanya berlaku pada ilmunya Gusti Allah, dalam arti ilmu yang diberikan langsung oleh Allah kepada hamba-Nya yang sholih. Sebagaimana ilmu laduni, ilmu kasyf beserta kawan-kawannya (ilmu dhoruri atau ilmu yang diberikan langsung oleh Allah tanpa usaha). Kalau ilmu-ilmu yang bersifat kasbi (ilmu yang didapat melalui usaha) sebagaimana tafsir, fiqh, hadis, tarikh dan seterusnya, bait diatas tidak berlaku. Masalah orang-orang barat bisa pintar, cerdas, memiliki ide-ide yang cemerlang dikarenakan mereka serius dalam ikhtiar belajarnya. Mereka tak pernah lelah sampai benar-benar mengetahui rahasia dibalik permasalahan yang ada.

Sebagaimana pengalaman yang saya dapat sekarang ini, bahwa orang non Asia tingkat belajarnya itu...hem...ndak seperti orang Asia... jauh sekali perbandingannya dengan orang Asia. Setiap saat, pagi, siang, dan malam mereka tak hentinya membaca dan menghafal. Maka tak heran jika mereka bertambah cerdas, bertambah pintarnya.
Hasil dari usaha-usaha (ikhtiyar) yang mereka jalani adalah salah satu wujud bukti dari salahsatu firman Allah di surat Ar Ra'd ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” Sehingga sangatlah wajar jika mereka (dalam hal pertanyaan di atas adalah orang barat) cerdas, pinter dan semakin tinggi tingkat intelegensinya.

Dulu saya sepemahaman dengan temanku, kalau kita sulit menghafal dikarenakan banyak berma’siat. Kalau di pikir-pikir memang ada betulnya juga, meski tidak selamanya begitu... sebab tatkala kita meminimalisir ma’siat dan bertambah taqarrub ila Allah, Insya Allah jika diri kita semakin dekat, Allah pun akan semakin dekat juga dengan kita. Semakin kita bermunajat dan meminta apa yang kita inginkan, semakin pula Ia mendengar dan mengijabahkan. Sebagaimana para ulama dulu, tatkala mereka mengalami kesulitan dalam menganalisa sebuah ilmu mereka mendirikan sholat dua raka’at terlebih dahulu dan berdo’a kepada Gusti, dan karena memang beliau-beliau sebagaimana Imam madzahibul arba’ah telah dekat dengan Allah swt. dan sangat sedikit ma’syiatnya maka tak heran jika beliau-beliau telah difutuhkan hatinya.

Sekedar berbagi, kalau menurut Syaikh Abdurrahim ar-Rukaini , Ada lima tingkatan dalam pembicaran ilmu; Ilmu muta’allimin, Ilmu Ulama’, Ilmu al-fath wa al-faidh, Ilmu laduni dan Ilmu al-Kasyf.

1. Ilmu Muta’alimin terkandung dalam ayat:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ( الأنبياء : 7)

…maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.

Untuk saat ini dalam tingkatan inilah posisi kita, kita masih diwajibkan untuk senantiasa bertanya dan menimba ilmu pada seseorang yang lebih mengetahui wilayah-wilayah itu. Dalam hal ini, kita tidak diperkenankan untuk takabbur atau sum’ah bahwa kitalah yang lebih tau. Masihkah ingat akan cerita Nabi Musa sa’at muncul sifat takabburnya tatkala ditanya oleh salah seorang dari umatnya kepadanya?:

"Wahai Musa, siapakah di atas bumi Allah ini yang paling pandai dan paling berpengetahuan?"
"Aku", jawab Musa.
Apakah tidak ada kiranya orang yang lebih pandai dan lebih berpengetahuan daripadamu?" Tanya lagi si penanya itu.
"Tidak ada" , ujar Musa seraya berkata dalam hati kecilnya: " Bukankah aku Nabi terbesar di antara Bani Isra'il? Aku adalah penakluk Fir'aun, pemegang berbagai mukjizat, yang telah dapat membelah laut dengan tongkatku dan akulah yang memperoleh kesempatan bercakap-cakap langsung dengan Tuhan. Maka kemuliaan apa lagi yang dapat melebihi kemuliaan serta kebesaran yang aku capai itu, yang belum pernah dialami dan dicapai oleh siapa pun sebelum aku."

Rasa sombong dan keunggulan diri yang tercermin dalam kata-kata Nabi Musa, dicela oleh Allah yang memperingatkan kepadanya bahwa ilmu itu adalah lebih luas untuk dimiliki oleh seseorang walaupun ia adalah seorang rasul. Dan perlu kita ingat bahwa bagaimana luasnya ilmu dan pengetahuan seseorang, niscaya akan terdapat orang lain yang lebih pandai dan lebih alim daripadanya. Untuk melanjutkan kekurangan yang ada pada diri Nabi Musa Allah memerintahkan kepadanya agar menemui seorang hamba-Nya di suatu tempat di mana dua lautan bertemu. Hamba yang soleh yang telah diberinya rahmat dan ilmu oleh Allah itu akan memberi tambahan pengetahuan dan ilmu kepada Nabi Musa sehingga dapat menjadikan sadar bahwa tiada manusia yang dapat membanggakan diri dengan mengatakan bahwa akulah orang yang terpandai dan berpengetahuan luas di atas bumi ini.

2. Ilmu Ulama terkandung dalam ayat:

هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ ) [سورة الزمر: 9]

"Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"

Dalam hal ini Allah jelas mengangkat derajat antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui. Allah telah membedakan derajat keduanya, antara alim dan jahil. Ada jurang pemisah antara mengerti dan tak mengerti, antara paham atau tidak…yakni sebuah pengetahuan, sebuah ilmu yang dimilikinya. Sebab ilmu layaknya mutiara, dimanapun posisinya, dimanapun tempat wadahnya, kapanpun akan tetap berharga. Meski posisinya berada dibawah laut, ia akan tetap dicari untuk diangkat posisinya menjadi penghias manusia. Meski tempat wadah pembungkusnya sejelek apapun ia akan tetap memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibanding lainnya. Dan selamanya akan tetap bernama mutiara yang indah dan mengindahkan.

Sebagaimana orang yang berilmu… meski kelas sosialnya, baik secara lahiriah ekonominya rendah, di pelosok pun tempatnya, dan tak perduli siapa yang memilikinya, karena ia adalah sebuah ilmu, maka ia pun akan tetap dicari, akan tetap terangkat derajatnya, ia akan tetap bersinar dan tetap menyinari sekelilingnya. Tidakkah kita mengenal al-Ghazali, al-Kindi, ibn Sina, ibn Rusyd, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Hanbali? Semua orang telah mengenal nama harum mereka, mengenal pemikiran dan hasil karyanya. Lagi-lagi yang menjadikan mereka masyhur adalah karena ilmunya, karena sebuah mutiara yang telah bersinar memancarkan sinarnya.

3. Ilmu al-Fathi wa al-faidh terkandung dalam ayat:

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم ٌ ) البقرة : 282)

Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dalam tafsirnya Imam Thobari ayat ini dita’wil oleh Abu Ja’far; bahwa seseorang yang bertaqwa kepada Allah dalam arti seorang yang senantiasa takut akan melakukan larangan-larangan-Nya dan senantiasa ber- tadarru’ maka akan dipermudahkan oleh Allah untuk dapat memahami ilmu-ilmu-Nya yang telah tersebar di ayat-ayat qauliyah dan kauniyah. Baik dipermudahkan untuk memahami hukum-hukum Allah ataupun hukum-hukum makhluk-Nya. Baik tatacara interaksi vertikal atau interaksi horisontal. Dalam hal ini pula seseorang diwajibkan untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama hidupnya. dan Allah akan mengontrolnya dengan sifat-Nya yang Maha Mengetahui.

Al-Qur’an sebagai dustur agama kita telah banyak menuturkan derajat ataupun ganjaran bagi orang yang bertakwa, salahsatunya di ayat 28 dalam surat al-Hadiid. Dalam ayat tersebut orang yang bertaqwa kepada Allah dan mengimani rasul-Nya maka akan diberikanlah dua rahmat-Nya, yakni menjadikan untuk kita cahaya yang dengan cahaya itu kita dapat berjalan dan Dia akan mengampuni kita. Dengan adanya cahaya itulah kita akan dengan mudah mendapatkan petunjuk-Nya untuk memahami ilmu-ilmu-Nya. Dengan cahaya itu pula keburaman hati akan tersinari dan memancarkan cahayanya, sehingga pemahaman kita pun akan semakin bertambah. Dengan taqwa, seseorang akan memenuhi hidupnya dengan hal-hal positif dan menjauhkan dari hal-hal yang tiada guna. Sehingga dalam hal ini pulalah secara tidak langsung ia akan senantiasa berusaha membaca realita yang ada, memikirkan ciptaan-ciptaan-Nya serta merefleksikan dan menganalisa semua yang ada di dunia ini, termasuk dalam ilmu-ilmu agama atau ilmu-ilmu dunia. Dan pada akhirnya seseorang akan keluar dari jurang kebodohan dan menuju cahaya pengetahuan.

4. Ilmu Laduni terkandung dalam ayat:

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آَتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (الكهف : 65)

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Dalam kaitan ilmu laduni ini, Allah akan memberikannya kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih. Tidak semua hamba diberikan ilmu laduni, sebab ilmu ini merupakan ilmu untuk mengetahui hal-hal yang masih belum dan akan terjadi. Dalam ayat di atas, hamba Allah terpilih itu adalah Khidir , seorang hamba Allah yang sholih dan telah diberikan kelebihan ilmu untuk mengetahui sesuatu dibalik realitas yang ada. Ilmu laduni merupakan ilmu bathin sebagaimana ilham langsung dari Allah swt. secara tiba-tiba tanpa melalui usaha. Ilmu laduni merupakan sebuah ilmu yang mampu melihat rahasia kedepan. Seseorang yang memiliki ilmu laduni, akan memperoleh pengetahuan tanpa usaha sebelumnya.

5. Ilmu al-Kasyf terkandung dalam ayat:

لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ (ق: 22)

“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”

Seseorang yang telah memiliki ilmu al-Kasyf (mukasyafah) akan diberikan ketajaman penglihatan hati sehingga ia mengetahui sesuatu yang haq dan bathil. Allah akan menyingkapkan penglihatan hambanya yang telah mencapai derajat mukasyafah. Sehingga, rahasia-rahasia yang belum diketahui sebelumnya dengan tiba-tiba akan diketahui setelah dibukakannya penglihatan mata hatinya. Derajat mukasyafah hanya diberikan kepada orang khusus pula. Rata-rata seseorang mukasyafah sudah mencapai derajat wali -dirinya telah mencapai derajat yang tinggi disisi Tuhannya-. Ia telah menjadi kekasih Tuhannya, sampai-sampai penglihatannya pun telah mencapai derajat tertinggi pula. Seorang mukasyafah, ia akan melihat ‘sebagian’ rahasia yang ada, baik rahasia sesama manusia, rahasia hewan, rahasia jin, dan rahasia ghaib lainnya, meski rahasia yang ia ketahui tidak semuanya, sebab hanya Allah lah yang mengetahui semua rahasia yang ada.

Mungkin itulah yang bisa aku bagi, mohon ma’af jika banyak kekurangan dalam jawaban ini. Itulah aku, itulah manusia. Wallahu A’lam

Khartoum, 27 April 2010
Abdi Gusti,
Taufiq Zubaidi

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum

    Mas Taufiq, tulisan2mu bagus2 banget. Aku mendapat banyak pelajaran berharga dari blogmu. Matur suwun...

    Salam
    Hibatun Wafiroh

    BalasHapus